Archive for the Psikologi Category

Kategori Anak dalam Islam

Posted in Psikologi, Tausiyah with tags , , , , , , , on January 26, 2011 by hzulkarnain

pewaris masa depan dunia

Herdian Zulkarnain

Orang Jawa punya ujar-ujar: tunggak jarak mrajak, tunggak jati mati. Sebuah pepatah yang menggambarkan betapa darah atau nasab tidak mutlak menentukan perkembangan anak menjadi dirinya sendiri.

Tunggak jarak menggambarkan cikal bakal orang kebanyakan, bisa didapat di mana saja, tetapi juga bisa tumbuh di mana saja. Mrajak bermakna tumbuh dengan cepat dan subur. Tunggak jati menunjukkan derajat yang lebih tinggi, mahal, tapi tidak bisa mrajak. Bahkan bila tidak dirawat dengan benar, akan mati begitu saja.

Ada 2 dalam garis hidupnya yang tidak bisa dipilih oleh manusia, yakni dari siapa dia dilahirkan, dan di tanah mana dia akan mati. Kita tidak bisa memilih untuk dilahirkan dari seorang ibu yang tinggal hangat di sebuah istana raja, atau seorang ibu yang mengigil kedinginan di bawah jembatan. Yang Maha Kuasa dengan segala ke-Maha Adil-nya telah menentukan tanggung jawab dari masing-masing orang tua agar anaknya menjadi diri yang sesempurna mungkin. Anak bukanlah hak milik orang tua, tetapi anak adalah tanggung jawab Allah pada setiap orang tua untuk mengasuh dan membesarkannya.

…sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya .

Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya ,

kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh; maka bagi mereka pahala yang tiada putus-putusnya.

Maka apakah yang menyebabkan kamu mendustakan  pembalasan sesudah  itu?

Bukankah Allah Hakim yang seadil-adilnya?

(QS At-Tiin)

Dalam cetak birunya, manusia dikodratkan sempurna lahir dan batin. Akan tetapi, saat masuk ke alam dunia manusia harus melewati sebuah gerbang yang berupa kandungan ibu. Di sinilah awal perjalanan jasmaniah dan ruhaniah mulai. Sebagian manusia sangat berhati-hati dengan janin di kandungannya, memperlakukannya dengan cermat dan santun, dan mengajarkan kebaikan bahkan sebelum ruh ditiupkan ke dalam jasad bayi. Sebagian yang lain, dengan cerobohnya membiarkan cikal bakal manusia ini tumbuh tak terawat, bahkan tidak sedikit yang lahir dengan kecacatan fisik maupun mental.

Tidak ada yang terjadi di dunia ini tanpa ijin Allah, namun manusia diberik akal budi untuk menjadikan dirinya sebaik-baik manusia. Karena kita tidak pernah tahu apa yang terjadi di masa mendatang, kita diperintahkan oleh Allah untuk menjaga keluarga kita dari api neraka … Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka … (At Tahriim 6). Perintah yang sederhana, namun memiliki konsekuensi sangat luas.

Sekalipun seorang anak memiliki kecerdasan, namun pada dasarnya ia adalah selembar kertas yang menerima apa saja yang dituliskan orang tuanya padanya. Tidak heran bila ada pepatah, buah tidak akan jatuh jauh dari pohonnya, sebab memang merekalah yang mengukir jiwa raga si anak. Apakah akan mrajak atau mati, tergantung dari cara orang tua mengasuh mereka.

Kekeliruan pertama yang biasa dijumpai pada sebagian besar orang tua adalah lemah dalam menekankan kedisiplinan pada anak. Demi melihat lucunya anak, tidak tega melihat anak sakit atau sedih, anak tidak dibiasakan berdisiplin. Dalam pikiran orang tua … ah, nanti saja kalau sudah agak besar. Padahal, mengukir kepribadian anak bisa diibaratkan menulis di atas tabularasa, lembar lilin yang cukup lunak. Dengan effort minimum, hasilnya tahan lama. Sementara mengukir anak yang lebih dewasa, seperti memahat batu. Harus keras dengan tenaga besar, atau tidak membekas bagus.

Bila anak mulai merokok, mulai nonton pornografi, pacaran, konsumtif, jangan melulu melihat si anak ini. Lihat pula bagaimana dia dibesarkan. Artinya, sebagian kesalahan terletak pada orang tua. Saat dewasa nanti, sebagian anak akan memberikan surga bagi orang tuanya, namun sebaliknya ada yang memberikan kesedihan dan kesusahan saja bagi mereka. Kita ingat kisah Nabi Khidir yang tanpa diduga oleh Nabi Musa mencekik seorang bocah tampan hingga mati. Nabi Khidir as. hanya mengatakan bahwa anak ini kelak dewasa nanti akan mendurhakai orang tuanya, sebab dia semenjak kecil selalu dimanjakan oleh keduanya. Dengan kematiannya, Nabi Khidir mendoakan semoga orang tuanya itu akan diberi ganti oleh Allah anak yang saleh.

Dalam Islam, kelak dewasa, anak kita akan masuk dalam salah satu kategori:

  1. Anak qurrota a’yun
  2. Anak yang menjadi perhiasan dunia
  3. Anak yang menjadi ujian bagi orang tuanya
  4. Anak yang menjadi musuh bagi orang tuanya

Seorang anak yang qurrota a’yun menjadi penyegar mata dan hati orang tua. Menyenangkan perilaku dan kepribadiannya, membanggakan, dan bisa mengangkat derajat orang tua di dunia dan akhirat. Tentu saja, tidak banyak anak yang seperti ini.

bimbingan sejak dini

Yang masih lebih banyak adalah anak-anak yang menjadi perhiasan dunia. Sesekali menjengkelkan, kadangkala membuat kesal, tetapi secara umum tetap membuat orang tua bangga. Mungkin banyak dari anda yang membaca blog ini termasuk kategori anak-anak kebanggaan orang tua …  bisa dipamerkan pada orang lain, menjadi tumpuan di hari tua mereka, dan akan mendoakan kelak saat orang tua sudah tiada.

Yang mungkin lebih banyak lagi adalah anak-anak yang menjadi ujian bagi orang tua. Sedikit menyenangkan, tapi lebih banyak mengesalkan. Membandel, sekalipun kadang kala menurut. Tidak kelihatan nakal, tapi membuat susah hati. Orang tua jadi sering-sering ber-istighfar, mengelus dada, dan mendoakan keselematan bagi si anak. Keadaan gamang ini masih menyimpan potensi untuk menjadikan anak kembali bagi orang tuanya (bila dia bertobat dari kesalahannya), tetapi bisa juga berubah menjadi musuh (saat dia semakin tersesat).

Kategori terakhir, yang paling memprihatinkan, adalah anak yang menjadi musuh bagi orang tuanya. Tidak ada kebahagiaan orang tua atas diri mereka, hanya ada kesedihan dan penderitaan batin. Sepertinya, arah jalan mereka berbeda dengan arahan orang tua. Anak-anak durhaka ini akan membebani orang tua saat di akhirat, karena kembali bahwa sebagian kesalahan anak terletak pada orang tua. Orang tua tidak bisa menjaga si anak berlari ke arah api neraka.

Marilah sejenak kita lihat, bagaimana anak-anak kita. Masuk di kategori mana mereka ini. Semoga, anak-anak itu bisa tumbuh menjadi manusia yang diridhoi Allah SWT.

Harapan Baru Di Tahun Baru

Posted in Kontemplasi, Psikologi, Sharing with tags , , , , on January 7, 2011 by hzulkarnain

Kalau sudah menjelang tahun baru, atau masuk tahun baru, orang suka membuat resolusi tahun baru. Yang pada intinya ingin menjadi orang yang lebih baik daripada tahun sebelumnya. Banyak resolusi tahun baru yang muluk-muluk, saking inginnya menjadi orang yang berbeda, yang sukses, dan signifikan.

definisikan resolusimu

Bila memungkinkan, tidak ada orang yang tidak mengharapkan lebih baik daripada tahun sebelumnya. Bagi pekerja, mungkin gaji yang lebih baik. Bagi yang masih menjombol, mudah-mudahan ada jodoh di tahun yang baru ini. Bagi pengantin baru, kehamilan atau malah lahirnya anak-anak yang sehat. Demikian seterusnya.

Seiring dengan berjalannya waktu, sejalan dengan beratnya perjuangan menempuh kehidupan hari ke hari, lebih banyak resolusi yang dilupakan daripada terlaksana. Apapun alasannya. Akhirnya, tidak sedikit yang mencapai akhir tahun berikutnya sama saja kondisinya dengan setahun silam, kalau tidak bertambah buruk.

Masalah yang paling lazim dihadapi oleh pembuat resolusi tahun baru adalah merumuskan resolusi tersebut menjadi tahapan yang bisa dicapai. Entah karena tidak tahu caranya membuat rumusan, atau tidak suka membuat perencanaan, akhirnya cita-cita yang ingin dicapai di tahun mendatang menguap begitu saja bersama waktu.

Bagaimana Caranya?

Meminjam istilah Romy Rafael, buatlah cita-cita yang menjadi puncak resolusi tahun baru itu punya fisik, punya warna, bisa dirasakan, bahkan mungkin diendus baunya, dan diraba. Intinya kita yakin bahwa itulah yang ingin kita raih. Ini akan men-sugesti diri kita untuk meyakini maknanya, dan mendorong kita untuk mewujudkannya.

Seringkali orang hanya bercita-cita secara abstrak – misalnya menjadi orang yang lebih baik. Itu tidak akan tercapai, kecuali anda merumuskannya secara jelas. Menjadi lebih baik dalam hal apa, bidang apa, urusan apa. Justru karena (alam bawah sadar kita) enggan berubah dari kondisi sekarang, seringkali kita mengaburkan resolusi yang kita tetapkan sendiri.

Apapun yang akan kita lakukan, selalu butuh rencana. Kalau secara sadar kita ingin berubah, kita harus membuat rencana. Rencana itu dirupakan tahapan yang bisa di-eksekusi, cukup mudah dilakukan, dan sederhana. Pecahlah cita-cita menjadi bagian-bagian atau tahapan-tahapan, agar kita tidak malas menjalankannya. Penjadwalan akan membuat anda lebih disiplin.

tahapan membuatnya mungkin dicapai

Seribu langkah selalu didahului dengan langkah pertama – itulah yang harus anda lakukan. Sekalipun rencana itu tidak sempurna, jalani saja. Kuatkan niat untuk memulai langkah pertama, dan jangan menengok ke belakang lagi – agar tidak ada keragu-raguan yang merugikan.

Seraya membuat rencana, organisasikan semua hal yang diperlukan untuk meraih cita-cita. Kalau cita-cita akhir tahun ini adalah menikah, pastikan ada punya seorang calon istri atau suami (:D pastilah ….). Di masa sekarang, orang menikah biasanya perlu biaya besar, pastikan sumber dana aman, tempat resepsi aman, suvenir, dsb. Apalagi kalau mau mendatangkan artis, atau pesta kebun di tepi kolam renang, perlu perencanaan yang lebih seksama.

Bila rencana sudah dibuat, semua resource (sumber daya) sudah didaftar, tinggal mengeksekusinya sesuai dengan tahapan yang sudah direncanakan. Kerjakan yang termudah, yang bisa dilakukan sekarang, tapi harus mulai sekarang. Diri anda adalah komandan dan guru bagi diri anda sendiri, karena tidak ada kekuatan besar yang bisa membuat anda berubah kecuali diri anda sendiri. Bila komandan memerintahkan anda untuk bergerak sekarang, tetapi dengan berbagai dalih anda berusaha menghindarinya, melupakan disiplin, dan tidak memenuhi rencana yang anda buat sendiri … itu sudah setengah jalan untuk menemui kegagalan lagi dalam mencapai cita-cita resolusi tahun baru anda.

Alasan rencana perlu dibuat dengan tahapan adalah fungsi kontrol. Rencana anda harus bisa diukur keberhasilannya, dan secara sadar anda bisa melihat progress (kemajuan) yang sudah terjadi. Kalau anda belajar membaca Al-Qur’an, anda tentunya bisa merasakan perbedaan antara pertama kali anda membuka kitab suci tersebut dengan setelah 3 bulan berlalu. Bila sebelumnya membaca halaman pertama Al-Baqarah butuh 30 menit, selanjutnya anda hanya perlu setengah waktu saja untuk menghabiskan 1 halaman. Setelah 1 tahun, mungkin hanya perlu 15 menit untuk menyelesaikan surat Yasiin. Itu yang dinamakan kemajuan.

Dengan fungsi kontrol ini, anda bisa mengoreksi jalan yang keliru dan harus diperbaiki. Bila mungkin kemarin anda sudah membuat seseorang sakit hati, ini waktunya anda mendatanginya dan minta maaf. Sekalipun mungkin orang tersebut sudah memaafkan sejak dulu, ia akan bisa melihat bahwa anda telah berubah menjadi orang yang lebih baik.

resolusi tanpa rencana? end up like this ...

Membentuk karakter tidak pernah bisa diselesaikan dalam waktu semalam saja. Butuh waktu lama dan kesabaran. Penyusunnya adalah bata demi bata perbuatan baik, yang anda cetak sendiri, dan bangun sesuai dengan keinginan. Semakin rapat batu bata tersebut, semakin kokoh bangunan yang terbentuk nanti. Kejujuran anda pada diri sendiri diperlukan untuk menjadikan bangunan ini nanti solid tak tergoyahkan.

Semoga tahun baru ini membawa keberkahan bagi kita semua, dan kita sama-sama berkehendak menjadi orang yang lebih baik. Islam mengajarkan kita untuk selalu lebih baik, agar jadi orang yang beruntung. Dengan cara apa? Saya mengatakan: Perbaiki diri, sekalipun hanya dengan 1 alif. Artinya, seperti mengaji Al-Qur’an, teruslah tambah bacaan anda dari ke hari … sekalipun perbedaan itu hanya 1 alif dibandingkan dengan kemarin.

Memberi Makna pada Hidup

Posted in Kontemplasi, Psikologi with tags , , , , , , on October 21, 2010 by hzulkarnain

Siang tadi, seorang teman mengirimkan e-mail yang berisi sepenggal informasi, bahwa ada penelitian di Amerika yang menunjukkan bahwa sepertiga dari pemenang lotere di Amerika Serikat jatuh bangkrut 5 tahun setelah mendapatkan uang yang berlimpah. Kenapa? Uang melambangkan nilai, dan bila orang tidak memahami makna di balik nilai uang itu maka uang-uang itu tidak akan bertahan.

crying for help

Kick Andy edisi 15 Oktober 2010 mengupas tentang perilaku bunuh diri, dan membahas alasan orang melakukannya. Sungguh di luar dugaan, usia pelaku bunuh diri ternyata semakin muda, di kala seharusnya mereka sedang menikmati masa hidup terindah. Ada yang baru 10 tahunan, 15 tahunan, 18 tahunan, serta seorang gadis muda yang pernah melakukan percobaan bunuh diri sebanyak 3 kali.

Kriminolog Ronny Nitibaskara dan psikolog Josephine Ratna yang menjadi narasumber sama menyepakati bahwa pelaku bunuh diri bisa dikenali sejak dini, saat terjadinya perubahan perilaku pada diri anak atau kerabat kita. Bukan hanya perilaku negatif tetapi bisa juga positif. Perilaku negatif misalnya murung, menutup diri, menarik diri, stress, dan semacamnya; sementara perilaku positif kebalikannya: anak menjadi lebih rajin membantu, rajin sholat, jadi lebih manis, dsb. Hal ini lebih kentara lagi pada perempuan, karena sebenarnya bunuh diri bukan pilihan pertama mereka. Mereka mencoba bunuh diri sebagai ganti “crying for help”.

Orang tua perlu melatih sensitifitas terhadap anak-anak, agar bisa mengantisipasi dengan cepat perubahan mental mereka. Josephine Ratna menunjukkan vitamin yang bisa mengokohkan akar kepribadian anak yaitu vitamin KPC: kasih sayang, perhatian, dan cinta. Jangan menolak saat anak meminta perhatian, misalnya dengan alasan capek atau sibuk. Berilah anak hak mereka untuk menikmati kehangatan relasi dengan orang tua. Orang tua yang terbiasa menyepelekan anak, yang berakibat renggangnya kontak emosi orang tua dan anak-anak mereka.

Apa kesamaan antara orang menang lotere dan pelaku bunuh diri? Keduanya sama-sama menyia-nyiakan sesuatu yang penting dalam kehidupan. Bukan soal uangnya, tetapi kesempatan untuk menjadi lebih baik. Bukan soal hidup yang seperti tanpa guna, tetapi kehidupan ini diciptakan sebenarnya tidak untuk main-main.

no future...hidup tanpa makna

Manusia punya tugas sebagai dan selayaknya insan mulia di muka bumi ini. Menjadi manusia yang utuh pada dasarnya menjadikan kehidupan ini punya makna bagi diri dan sekelilingnya. Bukan hanya Presiden, pejabat kementrian, Jenderal, perwira militer, pengusaha, engineer, advokat, dan semacamnya yang berhak mengatakan bahwa hidup mereka bermakna. Guru, petugas cleaning service, petugas parkir, bahkan pemulung pun punya hak untuk merasa hidupnya bermakna.

Dalam acara Minta Tolong RCTI beberapa waktu lalu, sang penolong adalah seorang perempuan pemulung dengan becak sewaan, dengan dua orang cucunya yang masih kecil-kecil. Dia sudah memulung selama 20 tahunan, dan belum akan berhenti selama masih hidup. Semasa mudanya, nenek itu adalah seorang tuna susila. Ia benar-benar merasakan siksaan hidup setelah ke-4 anaknya kehilangan arah. Dua anaknya ditengarainya hidup melacur seperti dirinya dulu, sementara dua yang lain tidak mau mengakuinya sebagai orang tua.

Sebuah nasihat sahabat menjadi pencerahan baginya 20 tahun yang lalu. Ia mendapatkan wejangan tentang kesengsaraan hidup saat bergantung pada orang lain. Hidup mejadi pelacur yang mengandalkan orang lain tidak akan membahagiakan. Hidup dengan keringat sendiri, bahkan dengan memulung, akan membawa kebahagiaan. Itulah yang kemudian dipraktikkannya. Ia memberikan makna pada kehidupannya sendiri, agar bisa terus bertahan dan mengasuh kedua cucunya. Dengan makna tersebut, ia melihat pengharapan, dan secara subjektif dunia ini tidak gelap.

Bandingkan dengan beberapa selebriti dunia yang justru mati di puncak karir atau selepas puncak karir karena overdosis atau lewat cara bunuh diri lainnya. Orang yang OD belum tentu bunuh diri, namun OD bisa jadi cara untuk menghabisi nyawa sendiri. Yang jelas, orang yang punya ketergantungan pada narkotika menyimpan ketidak beresan. Limpahan uang bukan diarahkan untuk sesuatu yang bermanfaat malah dihamburkan untuk menghancurkan diri sendiri.

Ada sebuah iklan susu yang sangat saya gemari, tentang Cila yang ingin jadi dokter. Dalam bahasanya sendiri, saat menjawab alasan dia ingin menjadi dkter, Cila menjawab: “Cila mau sembuh-sembuhin teman Cila yang sakit … supaya bisa bermain bersama lagi.” Bukan soal cita-citanya menjadi dokter yang menarik, tetapi anak ini sudah berusaha memberikan makna di balik cita-citanya.

Ketika hidup ini sudah diberikan makna, orang yang menjalaninya akan lebih serius dan tidak mudah patah. Orang-orang yang dikenal sebagai pahlawan kemerdekaan bangsa ini memberikan makna yang dalam pada kemerdekaan. Hidup ini tidak ada artinya tanpa kemerdekaan bangsa, sehingga mereka meletakkan pondasi kemerdekaan dengan cara mereka sendiri. Kalaupun mereka tidak mengalaminya, mereka mengikhlaskannya untuk anak cucu yang saat itu mungkin belum lahir.

Seorang tukang kayu, bekerja keras menyekolahkan ketiga anaknya hingga sarjana, dengan harapan mereka tidak akan menderita seperti dirinya dalam mencari nafkah. Penat akibat kerja keras, sakit karena kelelahan, dan bahkan mungkin kematian karena kecelakaan adalah harga yang diusahakan untuk meraih impian. Biarlah kemudahan itu milik anak cucunya.

mendekatkan diri pada Sang Pencipta ... memohon petunjuk arah kehidupan

Jadi, memberi makna pada kehidupan ini tidak harus dinikmati sendiri, tetapi juga bisa berarti menyiapkan masa depan bagi anak cucu. Atau bahkan makna ini lepas dari sisi keduniawian. Bekerja dengan sepenuh hati, lalu menyumbangkan sebagian besar harta untuk wakaf, orang miskin, rumah yatim piatu, karena mencari rahmat Tuhan.

Bagi yang pernah menonton film Forrest Gump bisa melihat semangat hidup yang mengalir di sepanjang perjalanan hidup orang yang terlahir dengan kecerdasan yang kurang namun diberkahi dengan banyak bakat. Sekalipun ia sendiri tidak paham akan apa yang dicarinya, ia sangat paham bahwa ia harus mematuhi Ibunya dan menjadi orang yang baik. Setelah kaya raya tanpa sengaja, ia memutuskan untuk hanya mengurusi rumahnya sendiri, dengan ilustrasi pesan dari mendiang Ibunya:”Kita hanya butuh harta sedikit saja. Selebihnya, hanya akan kita pakai untuk pamer.” Dan ia sumbangkan hampir semua hartanya kecuali rumah peninggalan orang tuanya.

Makna hidup harus dicari, karena dialah yang akan menyemangati kita. Kita jadi punya tujuan yang harus dicapai … dan tidak menutup kemungkinan tujuan itu akan berkembang, sehingga hidup kita jadi lebih menarik.