Nalagareng

Dalam dunia pewayangan Jawa, dikenal konsep tentang punakawan. Punakawan adalah para abdi, orang biasa yang menjadi teman perjalanan para ksatria (khususnya Pandawa dan keturunannya) tatkala mengembara untuk melakukan kebajikan. Tugas mereka adalah mengingatkan para ksatria agar selalu berjalan di jalan kebenaran yang digariskan oleh dewata.

Punakawan yang paling popular adalah 4 sekawan: Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong. Mereka dikisahkan sebagai bapak dan anak. Semar adalah Ki Lurah Karang Tumaritis, di dampingi ketiga anaknya.

Bila dikaitkan dengan upaya Sunan Kalijaga dalam penyebaran Islam di Jawa dengan menggunakan wayang kulit, karakter keempat punakawan bisa jadi merupakan analogi manusia secara umum. Menurut saya seperti ini penggambarannya.

Semar

Semar Badranaya

Digambarkan sebagai orang tua berambut putih, berbadan tambun, dengan kebijaksanaan yang luar biasa. Jarinya selalu menunjuk, diacung-acungkan kalau berjalan. Ia dititahkan oleh dewa untuk mengasuh para ksatria, dan menjadi penasihat bagi sang raja Prabu Yudistira.

Semar adalah figur ulama, yang menjadi pendamping umara’ dalam menjalankan roda pemerintahan. Tugas ulama adalah memberikan wawasan kepada umara’, bahkan harus berani mengoreksi bila mereka keliru.

Gareng

Tokoh ini adalah penggambaran yang buruk tentang fisik manusia, namun di dalamnya adalah manusia yang utuh.

Nalagareng

Gareng adalah figur buruk rupa, badan kecil pendek, matanya juling, tangannya ”cekot”, dan kakinya pendek sebelah.Lidahnya pun kelu dan tidak bisa berbicara lancar dan benar.

Gareng akan selalu bertindak benar, karena mata yang juling mengingatkan untuk hanya melihat yang halal, tangan yang cekot tidak bisa dipakai untuk mencuri, kaki yang pincang menghambat untuk bepergian ke tempat maksiat, serta lidah yang kelu tidak mungkin dipergunakan menipu dan berghibah.

Petruk

Para dalang biasanya menggunakan tokoh Petruk untuk menyindir kondisi jaman, namun tidak membuat orang sakit hati karena ia seorang yang humoris dan berwajah manis. Petruk digambarkan cerdas dan pandai berdiskusi. Dalam lakon pewayangan, Petruk ini sering melugaskan ungkapan Semar yang kadangkala terlalu filosofis.

Petruk mengingatkan saya pada peran karikatur di media masa sebagai kontrol sosial. Cerdas, mengritik, namun humoris tanpa menyudutkan. Orang-orang semacam Petruk selalu ada, dan jangan diabaikan karena mereka jeli dalam menterjemahkan berbagai kondisi sosial, politik, dan budaya.

Bagong

Sebagai “anak bawang” Bagong menampilkan sosok yang kekanak-kanakan dalam bersikap. Ia seperti kebalikan Petruk yang cerdas dan kompleks. Matanya lebar menampakkan kenaifan, dan bila berbicara suka “nyeletuk” dengan pertanyaan bodoh tetapi benar. Badannya tambun mirip Semar, tetapi lebih pendek.

Bagong adalah sisi naif kehidupan. Ketika semua orang berpikir kompleks, terlalu kompleks dan tidak menemukan pemecahan, sisi Bagong kadangkala menyelamatkan. Bagong adalah wujud kegembiraan kanak-kanak setiap manusia.

Bila Semar selalu berpikir arif, Gareng selalu tergagap dalam berbicara, Petruk menjadi alat sang dalang untuk menyampaikan pikirannya tentang kondisi aktual. Tiba-tiba Bagong menyeletuk:”Lho, lha sebenarnya kenapa ya orang itu kok rebutan kursi? Mbok ya bawa kursi sendiri-sendiri dari rumah!” Keempat punakawan adalah kesatuan ciri manusia secara universal.

Namun demikian, saya paling mengagumi satire tokoh Nalagareng yang serba cacat, karena Allah memang tidak pernah menciptakan manusia secara sempurna. Kecacatan kita – apapun itu – sebenarnya adalah peringatan bagi manusia untuk selalu melakukan perbuatan yang benar.

Leave a comment