Archive for March, 2009

Kampanye Pesta Demokrasi, Saat Introspeksi

Posted in Kontemplasi on March 31, 2009 by hzulkarnain

Catatan akhir Maret 2009

 

Aktivitas nasional yang digaris bawahi selama bulan Maret ini adalah kampanye partai politik peserta pemilu legislatif 2009. Setelah 5 tahun beselang, kinilah saatnya berbagai nama partai politik beradu nama dan berjuangkan memenangkan image massa agar bisa melenggangkan kandidat mereka ke gedung parlemen di segenap level – sebanyak mungkin.

Setelah 5 tahun, banyak yang telah terjadi pada diri partai-partai yang dulu pernah bertarung dalam medan serupa. Sebagian menunjukkan perkembangan yang positif, sebagian lain cukup aman, yang lain bergerak dengan stabilitas, akan tetapi ada yang tercabik-cabik oleh perpecahan internal partai – dan sekarang sedang berusaha menyulam kebocoran agar kekuatan mereka pulih. Tentu saja, ada juga partai-partai baru atau jelmaan baru (setelah 5 tahun lalu terpuruk tanpa suara) yang masih pula berusaha mengangkat bendera kebanggan mereka.

Secara tradisional, masyarakat Indonesia tetap melirik Partai Golkar dan PDI Perjuangan sebagai penggalang massa terbesar, yang berbasis nasionalisme. Berikutnya, orang tidak akan lupa pada Partai Persatuan Pembangunan, Partai Amanat Nasional, Partai Kebangkitan Bangsa, dan Partai Bulan Bintang. Ketiga partai ini punya pendukung khusus dari kalangan agama, baik yang berbasis NU, Muhammadiyah, dan ormas lainnya.

Pemain yang tergolong baru dengan kekuatan yang menakjubkan adalah Partai Keadilan Sejahtera, yang secara konsisten meningkatkan pendukung yang solid dengan pola dakwah. Konon, partai ini meng-klaim jabatan politik bukanlah prioritas utama mereka – karena partai ini adalah partai dakwah. Justru karena itulah, simpatisan dan komponen pendukungnya jadi sangat solid. Yang tidak boleh dilupakan adalah munculnya Partai Demokrat yang mengusung nama Susilo Bambang Yudhoyono sebagai Presiden, dan popularitas sang Presiden juga turut mendongkrak minat orang pada partai ini.

Belakangan, muncul sebuah partai baru dengan dana yang tampaknya sangat besar: Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra). Nama ini mengingatkan kita pada sebuah partai politik pada jaman Belanda Parindra (Partai Indonesia Raya). Sekalipun tidak orisinil benar, namun nama Gerindra memiliki kekuatan imaging yang sangat kuat berkat gelontoran iklan yang tergarap rapih (yang tidak mungkin terlaksana tanpa budget luar biasa besar). Nama populer Prabowo Subianto yang dikenal luas sebagai mantan Danjen Kopassus dan Pangkostrad merupakan orang pertama di partai, yang didukung pengusaha Hasyim Joyohadikusumo – adiknya. Kemungkin, partai ini akan mengejutkan peta kekuatan politik di tahun ini.

Dua partai besar yang tercabik intrik internal adalah PDI Perjuangan dan Partai Kebangkitan Bangsa. PDI Perjuangan retak karena ketidak puasan elite partai, sehingga beberapa pejabat teras partai hengkang dan membentuk beberapa partai baru yang juga bernuansa demokrasi. Salah satunya adalah PDP (Partai Demokrasi Pembaharuan).

PKB dua kali mengalami hempasan. Keretakan pertama ditandai dengan keluarnya berbagai elite politik yang kemudian bergabung dengan PPP atau PKNU. Yang masih segar diingat orang adalah lengsernya Gus Dur dari gerbong partai melalui putusan pengadilan, dan dengan bersungut-sungut beliau berusaha menarik simpatisannya kepada Gerindra.

Beberapa Jenderal lainnya kelihatan tidak mau kehilangan momentum untuk kembali ke dalam lingkaran pembuat kebijakan. Kita masih ingat, ada PKPB (Partai Karya Perduli Bangsa) yang dibentengi R. Hartono. Partai ini (dalam iklan-iklannya) berusaha menarik simpatisan Pak Harto yang tersisa – dengan mengangkat sentimen kejayaan masa lalu. Partai Hanura yang dikomandani Wiranto berusaha meraih konstituen yang kurang jelas – setidaknya itu yang saya tangkap sampai saat ini. Sutiyoso juga maju dengan PIS – yang dalam pemikiran saya, sama kurang jelasnya.

Dalam perjalanan kampanye, mulai terlihat kesenjangan antara partai berkonstituen solid dan tidak, berdana besar dan kecil, serta dampak panggung hiburan yang dulu selalu menjadi alat penggalang massa. Bahkan ada kampanye partai di sebuah daerah di Sumatera harus bubar sebelum waktunya karena tidak diminati massa – namun partai tersebut beralasan hal itu dikarenakan waktu kampanye bersamaan dengan jam kerja. Ironisnya, kampanye partai besar di daerah lain – pada waktu yang sama – mampu mendatangkan massa berjumlah ribuan. Partai ber-budget mencoba mengoptimalkan dana dengan pola pengabdian pada masyarakat. Termasuk calon legislatif dari kalangan artis dan selebriti diharuskan langsung bertemu dengan masyarakat yang menjadi konstituen mereka.

Janji politik bertebaran – baik saat orasi kampanye maupun dalam berbagai iklan layanan masyarakat. Tidak penting bagaimana nanti janji tersebut akan dan harus ditepati – sebab tidak ada ikatan apapun. Ada partai yang berani meng-klaim telah melakukan kontrak politik – tapi tidak jelas dengan siapa dan bagaimana bentuknya. Apapun hasil kerja pemerintah sekarang – yang tentunya dikawal oleh anggota parlemen dari berbagai unsur partai politik juga – selalu menjadi amunisi bagi partai politik yang bukan pendukung pemerintah. Seperti tidak ada lagi bahan orasi dan kampanye, semua partai politik yang berniat mengusung nama calon presiden baru seolah-olah sepakat untuk berfokus pada kondisi sosial ekonomi masyarakat yang sedang negatif dan mengabaikan keberhasilan pemerintah (tentu saja).

Masyarakat seperti dicekoki kegagalan pemerintah dalam menekan harga-harga, perbandingan harga BBM dengan masa sebelum era SBY, hingga BLT yang dianggap melecehkan kemanusiaan. Lucunya, yang berbicara soal petani tidak pernah menjadi petani. Yang bicara soal BBM tidak menyebutkan langkah pelunasan hutang IMF. Sementara yang bicara soal BLT kemudian mengatakan berada di tengah rakyat saat pembagian BLT.

banjirDitengah persiapan pesta demokrasi, mendadak sebuah bencana pecah mengejutkan. Tanggul Situ Gintung yang beradi di desa Cireundeu Kabupaten Banten jebol dan menghanyutkan harta benda serta nyawa lebih dari 90 orang, sementara lebih dari 100 orang masih belum ditemukan. Karena letaknya yang berada dekat dengan pusat pemerintahan, semua televisi swasta dan nasional menyiarkannya secara khusus – dan memakan porsi berita yang cukup signifikan. Situ Gintung seperti sebuah garis bawah bencana alam lain yang – bisa jadi – lebih besar namun selalu luput dari sorotan media.

Allah tidak akan menurunkan musibah tanpa alasan. Apapun itu, teguran Allah seperti menjaga kita agar tidak terlena. Euforia politik 5 tahunan boleh tetap berlangsung, namun kita harus ingat bahwa bangsa ini masih perlu menyimpan dana, tenaga, dan pikiran untuk hal lain yang lebih manfaat bagi sebagian besar masyarakat. Apapun janji politik dan tebar pesona yang terjadi selama kampanye, pada akhirnya kita semua harus kembali pada realitas – pada semua kesulitan hidup yang sekarang kita alami. Saat anggota legislatif kembali melangkah dengan anggun ke gedung dewan, kita semua harus kembali ke alat kerja kita atau kembali membuka koran pagi untuk mencari lowongan kerja.

Siapapun pemerintah yang berkuasa atas negeri ini adalah khalifah bangsa yang harus dijunjung tinggi, harus memperoleh sokongan penuh – saat menjalan kebaikan bagi bangsa. Indonesia bukan utopia yang tidak bercacat – karena memang negeri dan bangsa ini sedang berkembang. Hukum alam sudah membuktikan bahwa bangsa yang pernah agung – berada di titik zenith – cepat atau lambat akan turun bahkan mungkin berbalik ke titik nadir. Biarlah bangsa ini berproses dengan alami – dan kita menuju sebuah alam yang lebih baik melalui jalan terjal yang mendewasakan.

Dalam usianya yang relatif muda – 60 tahunan – Indonesia harus diakui oleh banyak negara sebagai bangsa yang tangguh. Dalam keragaman yang sedemikian majemuk – etnis, bahasa, kultur, agama, bentuk kepulauan – ternyata bangsa ini masih mampu mempertahankan bentuk negara kesatuan. Indonesia sudah menjadi cermin bagi banyak bangsa lain bahwa keragaman tidak identik dengan perpecahan.

Kalau kita tinjau sedikit di negara lain – mereka sedang mencoba bertahan dari perpecahan internal karena perbedaan.

Sejak ditinggalkan Marcos, Filipina selalu berada diambang pertentangan dengan kaum Muslim di Selatan. Hampir serupa, Thailand juga rentan pada hal tersebut. Myanmar belum pernah kembali stabil sejak junta militer berkuasa – sekalipun bangsa itu bisa dikatakan homogen. Konflik politik yang berlatar agama antara Inggris dan Irlandia Utara belum tuntas benar hingga sekarang. Di Srilanka, etnis Tamil selalu menjadi momok perpecahan bangsa. India yang berpenduduk terpadat kedua di dunia senantiasa dihantui konflik antar agama di beberapa daerah.

Semoga, azas bangsa yang pertama Ketuhanan Yang Maha Esa, membuat kita selalu sadar bahwa tidak ada kekuatan apapun yang melebihi kuasa Allah – dan karenanya kita tidak pernah putus mendoakan kebaikan dan keselamatan bangsa. Mungkin di antara kita masih ada orang-orang yang berakhlak kurang baik, dan bisa jadi dengan keberuntungan mereka bisa menjadi wakil rakyat. Dengan doa yang tiada putus, semoga Allah senantiasa melindungi kita, bangsa ini, dan segenap wilayah hingga sudut terjauh. Allah mungkin memberikan cobaan, tapi itu semata agar kita tetap ingat bahwa kita masih tergantung padaNya.

Semoga bangsa ini tetap jaya!

Menyikapi Perbedaan

Posted in Kontemplasi, Tausiyah with tags , on March 28, 2009 by hzulkarnain
kontak inter-rasial

kontak inter-rasial

 

Manusia dilahirkan berbeda. Perbedaan adalah fitrah manusia. Bahkan sepasang anak kembar pun tidak mungkin tidak berbeda. Perbedaan fisik, emosi, karakter, kultural, dan sebagainya. Sekalipun diterapkan upaya penyeragaman, misalnya dalam kemiliteran, tetap saja pada akhirnya ada perbedaan hasil. Dari sana lahir seorang jenderal ahli strategi dan sukses sebagai Presiden seperti Suharto dan SBY, atau di kutub lain ada juga tentara desersi atau berlaku kriminal yang berakhir di penjara.

Kemajemukan dunia menggiring manusia pada perilaku dan profesi yang berbeda, hingga lahirlah beragam jenis dan bentuk pekerjaan yang saling melengkapi. Di satu sisi ada seniman yang punya kehalusan perasaan, di sisi lain ada militer dengan segala ketegaran dan keunggulan fisiknya. Ada ulama dan pendeta yang berbicara tentang kebenaran, di sisi lain ada pedagang dan politisi yang yakin tentang peluang dan keuntungan.  Satu sama lain seperti sudah tahu wilayah masing-masing, dan tidak berniat mencampuri ranah pembicaraan yang tidak dipahami masing-masing pihak. Justru karena keragaman tersebut negara-negara besar di masa lalu dan masa kini bisa terbentuk.

Hakikat perbedaan adalah tidak adanya kemutlakan di dunia ini. Kebenaran di sebuah pemikiran ternyata tidak bagi yang lain. Keyakinan yang dianut mati dalam sekelompok masyarakat, ternyata tidak berlaku di tempat lain. Beberapa pemikir besar yang dihukum mati oleh penguasa theokrasi di masa lalu, hanya karena mereka berpikir tanpa ikatan dogmatis, dan karenanya dianggap menghujat Tuhan. Setelah bertahun-tahun kemudian, justru yang diketahui benar adalah pendapat pemikir yang sudah terlanjur dihukum mati tersebut.

Bisakah perbedaan ditiadakan? Apa jadinya bila perbedaan ditindas demi keseragaman?

Meniadakan perbedaan berarti mengingkari rahmat Tuhan Sekalian Alam, karena perbedaan adalah anugerah rahmat dariNya. Impian untuk meniadakan perbedaan berarti menganggap sebuah pemikiran, isme, kelompok, etnis, atau ras lebih baik daripada yang lain, sehingga menganggap yang lain tidak penting. Seorang diktator selalu menganggap diri dan kelompoknya yang terpenting, namun belum tentu ia seorang fasis. Hitler adalah seorang fasis yang diktator, sehingga bukan hanya menganggap dirinya penting namun menganggap ras selain Aria tidak penting – dan karenanya tidak layak berdampingan dengan ras ini.

Bahkan ketika alam menunjukkan dominasi atlet kulit hitam dalam ajang olimpiade sebelum perang dunia II, Hitler tidak mau mengakui kehebatan para atlit non-putih tersebut. Dalam pikirannya, figur individu yang hebat adalah laki-laki berkulit putih, berambut pirang, bertubuh tinggi besar, tanpa cacat – seolah-olah figur utopisnya sendiri yang bertubuh pendek dan berambut hitam. Impiannya bahwa orang Aria memimpin dunia diwujudkannya dengan serangan ke berbagai negara di Eropa dalam upaya penaklukan terbesar.

Sejarah Islam menunjukkan bahwa kebesaran agama ini dikarenakan hanya memperlakukan hukum manusia secara nisbi, namun hukum Allah dijunjung sebagai kemutlakan. Dalam kitab sejarah Rasulullah Saw, jelas ditunjukkan bahwa Allah tidak senantiasa menurunkan wahyu untuk mengatur kehidupan. Justru lebih sering Rasulullah dan para sahabat harus berunding untuk menentukan langkah dan hukum karena Allah tak kunjung menurunkan wahyu. Bagaimana kalau keliru? Bahkan Rasulullah juga pernah keliru dalam membuat keputusan dan ditegur oleh Allah Swt dengan diturunkannya wahyu yang mengoreksi keputusan Rasulullah tersebut.

Sebagai seorang yang ahli dalam strategi dan taktik, Rasulullah Saw senantiasa berpijak pada wahyu Allah dalam menentukan langkah yang akan diambil. Akan tetapi, beliau tidak menyama ratakan cara saat menghadapi lawan bicara, lawan berunding, bahkan lawan dalam peperangan. Ada kalanya pasukan Islam harus menunjukkan kekuatannya yang menggiriskan hati, namun tidak jarang hanya beberapa orang terpilih yang menjadi utusan, atau bahkan beliau sendiri yang bertemu dengan pemuka masyarakat yang memusuhi Islam. Tidak pernah disebutkan dalam sejarah keberingasan tentara Islam dalam penaklukan, bahkan peperangan frontal terjadi hanya sebagai reaksi dari ancaman yang datang. Kekerasan adalah jalan terakhir setelah semua diplomasi.

Islam berprinsip bahwa perbedaan adalah rahmat, dan dalam Surat Al Baqarah bahkan ditegaskan bahwa tidak ada paksaan dalam beragama. Artinya bahwa, dalam pemerintahan yang berpayungkan hukum Islam, semua agama, etnis, suku, dan isme dipersilakan hidup selama tidak merongrong kewibawaan pemerintahan. Tatkala kekalifahan Islam mencapai Damaskus, penduduk yang beragama Kristen menegaskan bahwa mereka merasa lebih aman di bawah payung Khilafah Islam dibandingkan saat berada di bawah panji-panji Romawi.

Orang Islam harus adaptif, namun tidak boleh lepas dari prinsip dan konsep ke-Islaman yang hakiki. Mungkin itu yang dikehendaki oleh Rasulullah ketika menyebarkan ajaran agama ini kepada manusia yang mendiami jazirah Arabia, pada awalnya. Sejarah juga telah membuktikan bahwa ajaran Islam dominan di Indonesia tanpa mengubah identitas pribadi pemeluknya menjadi Timur Tengah. Orang Jawa tetap menjadi Islam Jawa, dan orang Minang tetap Islam Minang. Sebagian memang mengubah nama mereka sesuai dengan nama yang ada di Al-Qur’an tetapi mereka tidak lantas berpakaian selayaknya orang Arab.

Kalau kita sempat menyaksikan tayangan National Geographic yang bertajuk Inside Mecca, di sana dikisahkan tiga orang jamaah haji dari tiga bangsa yang berbeda: seorang karyawan pria berkebangsaan Malaysia yang berangkat dengan rombongan jamaah, seorang pekerja pria kulit hitam berkebangsaan Afrika Selatan yang berangkat sendiri, dan seorang ilmuwan wanita berkebangsaan Amerika yang berangkat dengan rombongan perempuan. Tampak jelas bagaimana Islam bermain dalam tiga kultur yang berbeda, sehingga membuahkan cara berpikir yang berbeda pula saat menyikapi ritual keagamaan terbesar di dunia itu. Ketika mereka semua melaksanakan wukuf di Arafah, leburlah semua kultur menjadi satu identitas saja: Islam.

Islam bermain di dalam prinsip dan konsep, sementara kultur lokal bermain di ranah yang berbeda. Orang bisa membawa kedua identitas secara simultan, tanpa saling merugikan. Tentu saja, bagi sebagian orang pendapat personal ini tidak benar. Tidak jadi apa, karena perbedaan adalah sah hukumnya.

Saya menyukai kalimat Mario Teguh, dalam salah satu Golden Ways-nya, yang menyatakan bahwa: Kokohlah dalam prinsip, tapi fleksibel dalam cara / metode. Dengan demikian, kita selalu adaptif tanpa pernah kehilangan arah dan tujuan.

Prasangka dan Celaan

Posted in Kontemplasi, Sharing with tags on March 25, 2009 by hzulkarnain

 

sinetron horor

sinetron horor

Apa yang menjadi pusat perhatian keluarga dewasa ini? Jawaban yang hampir pasti adalah: televisi. Hampir di setiap rumah ada benda elektronik ini, dan menyita sebagian besar perhatian anggota keluarga yang hadir.

Televisi sudah pasti menjadi bagian dari kehidupan manusia modern, termasuk Indonesia. Lebih maju daripada negara-negara di sekitarnya, Indonesia bahkan sudah memiliki lebih dari 5 stasiun televisi swasta – yang berkembang pesat sejak bangkitnya reformasi. Bila dulu televisi termasuk barang mewah, dan dikenai pajak barang mewah, sekarang posisinya adalah kebutuhan tertier bahkan sekunder.

Dari semua acara televisi, apa acara yang paling ditunggu? Dewasa ini tampaknya ada 2: berita dan film. Lebih khusus lagi: gosip selebriti dan sinetron drama. Rating kedua acara ini selalu menempati jajaran tertinggi, bahkan ada acara semacam ini yang bertahan lama. Sebenarnya, saya sungguh heran dengan trend yang sepertinya tidak pernah turun ini.  

Yang memprihatinkan adalah ketidak mampuan orang tua (khususnya Ibu) menahan diri dari tontotan tersebut, justru tatkala seharusnya anak-anak mereka harus belajar. Pantaslah bila lebih banyak anak-anak yang lebih hafal tokoh dan bintang sinetron dibandingkan dengan pahlawan nasional. Lebih hafal kabar perceraian selebriti daripada agenda pemilu (misalnya). Sebagai media massa, siaran televisi diibaratkan tumpahan air hujan – bisa datang setiap saat, dimana saja, dan pada siapa saja. Orang tua lah yang seharusnya menjadi payung dan filter di rumah, pelindung anak-anak mereka dari acara televisi yang tidak bermanfaat.

Disadari atau tidak, tayangan di layar kaca berimbas pada kultur yang berlaku di masyarakat, khususnya dalam menyikapi konteks sosial yang serupa dengan terlihat di dalam sinetron. Seorang anak kerabat yang berusia TK bahkan berani membentak seorang pembantu yang sudah setengah baya:”Tak pecat kamu!” – karena hardikan serupa pernah di dengar dan dilihat dalam konteks serupa di sinetron, yang disaksikannya sepulang sekolah.

Sinetron yang banyak ditayangkan dan digemari – kalau boleh jujur – tidak banyak bedanya dengan telenovela Amerika Latin. Melodrama gadis cantik miskin yang bertemu dengan pemuda tampan kaya. Keduanya berkarakter “putih”. Kisah cinta ini berbumbu iri dengki perempuan lain (yang juga cantik) berkarakter “hitam”, yang ingin menikahi sang pemuda kaya karena hartanya. Judul sinetron ini, mayoritas adalah nama perempuan yang menjadi protagonis sinetron. Usia pemain pun sekarang ini tampaknya semakin muda, namun harus memainkan peran yang sebenarnya lebih pantas untuk orang yang berusia minimum 4 – 5 tahun lebih tua.

Kehidupan dalam sinetron – senyatanya – langka ditemui dalam masyarakat. Kehidupan di layar kaca adalah gambaran maya semata. Yang kaya sangatlah kaya, sekalipun tidak jelas profesinya – siang hari pun berkeliaran di jalan, mall, cafe dengan perempuan, ketika eksekutif bisnis yang sejati berada di tengah projek mereka. Yang glamor terlalu glamor, hingga tidak pernah lepas setelan jas dan make-up. Yang baik hati tidak punya sisi hitam sama sekali – sehingga kebaikan seperti identik dengan kemelaratan atau kesengsaraan. Si jahat sedemikian hitam dan pendengkinya hingga tak ada ruang putih sedikit pun – bahkan ketika bernafas pun seolah-olah sudah menyebarkan aroma kematian. Yang miskin, lucunya, tetap cantik jelita – sekalipun wajahnya dikotori atau berpakaian kumal. Mana ada orang secantik Tamara Blezinsky atau si remaja Nikita Willy tetap miskin dan merana?

Tontonan sinetron di televisi, secara umum, tidak punya elemen edukasi yang memadai sebagai tuntunan (tentu saja ada beberapa perkecualian – yang sayangnya tidak sering diproduksi). Sudah begitu banyak pakar yang memberikan catatan, ulama yang mengeluarkan peringatan, namun rating seolah-olah membelenggu kreativitas para sineas. Rating berarti uang, dan uang memberikan jaminan proyek berikutnya. Masa bodoh dengan pembinaan akhlak masyarakat.

Beda lagi dengan tontonan gosip selebriti. Pemirsa disuguhi kehidupan internal orang-orang yang biasa disaksikan lewat layar kaca, artis film, penyanyi, pemain band, khususnya bila sedang atau diduga sedang punya konflik. Gosip selebriti adalah – utamanya – memang masalah perseteruan. Entah memang sedang ada masalah, atau sebenarnya hanya konflik alami sebuah rumah tangga, hubungan percintaan, gesekan kepentingan, dsb.

Ketika sedang hangat, hampir semua acara serupa memberitakan dengan cara yang hampir sama pula. Ibarat air yang menetes di atas batu, bila semua saluran sudah berkata tentang hal yang sama – sekalipun baru sebatas dugaan – sebuah issue bisa dianggap kebenaran. Semakin kontroversi kasusnya, apalagi bila sudah melibatkan pengacara, lebih panas pula pemberitaan yang dilancarkan. Banyak berita perseteruan yang akhirnya hilang begitu saja, menggantung tanpa informasi akhir dari saluran gosip. Seolah-olah kabar baik dari selebritis bukan lagi ranah yang patut disajikan secara proporsional. Sering kali akhir perseteruan dan konflik hanya menjadi selipan berita, atau catatan kaki yang sepertinya tidak terlalu penting.

Bila hot news sedang sepi, banyak cara yang diluncurkan agar seolah-olah dunia hiburan tidak sepi dari gosip. Pertanyaan: Apakah? … Benarkah?  … Bagaimana? … Menjadi senjata penulis berita gosip untuk menarik minat pemirsa agar tetap di saluran.

Langsung maupun tidak, gaya bertutur kebanyakan sinetron di negeri ini membuat orang tidak santun. Kalau kita simak, bicara dengan tensi tinggi, bicara sambil berdiri, berdebat bukan berdiskusi dengan sabar, adalah ciri telenovela Amerika Latin. Sebenarnya bukan gaya orang Indonesia yang guyub. Bandingkan head to head dengan sinetron besutan Deddy Mizwar yang Islami, atau si Doel Anak Sekolahan dulu.

Tensi tinggi dalam tiap potongan scene mungkin memang cara yang ditempuh oleh sutradara untuk menyiasati lemahnya plot dan miskinnya kemampuan akting. Ketegangan yang dibangun mungkin menarik untuk disimak tetapi tidak membawa manfaat lebih jauh. Tidak aneh bila yang banyak diserap adalah kata, frase, dan kalimat negatif bernada permusuhan. Celaan, makian, umpatan, seolah-olah menjadi hal yang biasa.

Tontonan gosip membuat pemirsanya belajar berprasangka, karena suapan potongan info negatif yang terus menerus. Prestasi Gita Gutawa atau kelompok Elfas Secoria di ajang internasional sudah pasti dikabarkan, tetapi kemudian tenggelam oleh kabar dugaan perselingkuhan, rencana gugatan perceraian, perselisihan anak band, dan sebagainya. Istilah infotainment yang sebelumnya tidak dikenal – bahkan istilah tersebut memang tidak baku – sekarang biasa diucapkan hingga pembantu rumah tangga – sebagai pengganti acara gosip.

Karena miskinnya bobot edukasi inilah, saya tidak memperbolehkan sembarang sinetron menjadi tontonan di rumah. Istri dan anak saya juga sudah terbiasa untuk tidak berbicara soal sinetron. Kalau ada sinetron yang bagus, khususnya besutan Deddy Mizwar, pasti kami sekeluarga akan menonton. Info gosip juga bukan tontonan di rumah, karena memang tidak ada perlunya update urusan rumah tangga orang lain.