Catatan akhir Maret 2009
Aktivitas nasional yang digaris bawahi selama bulan Maret ini adalah kampanye partai politik peserta pemilu legislatif 2009. Setelah 5 tahun beselang, kinilah saatnya berbagai nama partai politik beradu nama dan berjuangkan memenangkan image massa agar bisa melenggangkan kandidat mereka ke gedung parlemen di segenap level – sebanyak mungkin.
Setelah 5 tahun, banyak yang telah terjadi pada diri partai-partai yang dulu pernah bertarung dalam medan serupa. Sebagian menunjukkan perkembangan yang positif, sebagian lain cukup aman, yang lain bergerak dengan stabilitas, akan tetapi ada yang tercabik-cabik oleh perpecahan internal partai – dan sekarang sedang berusaha menyulam kebocoran agar kekuatan mereka pulih. Tentu saja, ada juga partai-partai baru atau jelmaan baru (setelah 5 tahun lalu terpuruk tanpa suara) yang masih pula berusaha mengangkat bendera kebanggan mereka.
Secara tradisional, masyarakat Indonesia tetap melirik Partai Golkar dan PDI Perjuangan sebagai penggalang massa terbesar, yang berbasis nasionalisme. Berikutnya, orang tidak akan lupa pada Partai Persatuan Pembangunan, Partai Amanat Nasional, Partai Kebangkitan Bangsa, dan Partai Bulan Bintang. Ketiga partai ini punya pendukung khusus dari kalangan agama, baik yang berbasis NU, Muhammadiyah, dan ormas lainnya.
Pemain yang tergolong baru dengan kekuatan yang menakjubkan adalah Partai Keadilan Sejahtera, yang secara konsisten meningkatkan pendukung yang solid dengan pola dakwah. Konon, partai ini meng-klaim jabatan politik bukanlah prioritas utama mereka – karena partai ini adalah partai dakwah. Justru karena itulah, simpatisan dan komponen pendukungnya jadi sangat solid. Yang tidak boleh dilupakan adalah munculnya Partai Demokrat yang mengusung nama Susilo Bambang Yudhoyono sebagai Presiden, dan popularitas sang Presiden juga turut mendongkrak minat orang pada partai ini.
Belakangan, muncul sebuah partai baru dengan dana yang tampaknya sangat besar: Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra). Nama ini mengingatkan kita pada sebuah partai politik pada jaman Belanda Parindra (Partai Indonesia Raya). Sekalipun tidak orisinil benar, namun nama Gerindra memiliki kekuatan imaging yang sangat kuat berkat gelontoran iklan yang tergarap rapih (yang tidak mungkin terlaksana tanpa budget luar biasa besar). Nama populer Prabowo Subianto yang dikenal luas sebagai mantan Danjen Kopassus dan Pangkostrad merupakan orang pertama di partai, yang didukung pengusaha Hasyim Joyohadikusumo – adiknya. Kemungkin, partai ini akan mengejutkan peta kekuatan politik di tahun ini.
Dua partai besar yang tercabik intrik internal adalah PDI Perjuangan dan Partai Kebangkitan Bangsa. PDI Perjuangan retak karena ketidak puasan elite partai, sehingga beberapa pejabat teras partai hengkang dan membentuk beberapa partai baru yang juga bernuansa demokrasi. Salah satunya adalah PDP (Partai Demokrasi Pembaharuan).
PKB dua kali mengalami hempasan. Keretakan pertama ditandai dengan keluarnya berbagai elite politik yang kemudian bergabung dengan PPP atau PKNU. Yang masih segar diingat orang adalah lengsernya Gus Dur dari gerbong partai melalui putusan pengadilan, dan dengan bersungut-sungut beliau berusaha menarik simpatisannya kepada Gerindra.
Beberapa Jenderal lainnya kelihatan tidak mau kehilangan momentum untuk kembali ke dalam lingkaran pembuat kebijakan. Kita masih ingat, ada PKPB (Partai Karya Perduli Bangsa) yang dibentengi R. Hartono. Partai ini (dalam iklan-iklannya) berusaha menarik simpatisan Pak Harto yang tersisa – dengan mengangkat sentimen kejayaan masa lalu. Partai Hanura yang dikomandani Wiranto berusaha meraih konstituen yang kurang jelas – setidaknya itu yang saya tangkap sampai saat ini. Sutiyoso juga maju dengan PIS – yang dalam pemikiran saya, sama kurang jelasnya.
Dalam perjalanan kampanye, mulai terlihat kesenjangan antara partai berkonstituen solid dan tidak, berdana besar dan kecil, serta dampak panggung hiburan yang dulu selalu menjadi alat penggalang massa. Bahkan ada kampanye partai di sebuah daerah di Sumatera harus bubar sebelum waktunya karena tidak diminati massa – namun partai tersebut beralasan hal itu dikarenakan waktu kampanye bersamaan dengan jam kerja. Ironisnya, kampanye partai besar di daerah lain – pada waktu yang sama – mampu mendatangkan massa berjumlah ribuan. Partai ber-budget mencoba mengoptimalkan dana dengan pola pengabdian pada masyarakat. Termasuk calon legislatif dari kalangan artis dan selebriti diharuskan langsung bertemu dengan masyarakat yang menjadi konstituen mereka.
Janji politik bertebaran – baik saat orasi kampanye maupun dalam berbagai iklan layanan masyarakat. Tidak penting bagaimana nanti janji tersebut akan dan harus ditepati – sebab tidak ada ikatan apapun. Ada partai yang berani meng-klaim telah melakukan kontrak politik – tapi tidak jelas dengan siapa dan bagaimana bentuknya. Apapun hasil kerja pemerintah sekarang – yang tentunya dikawal oleh anggota parlemen dari berbagai unsur partai politik juga – selalu menjadi amunisi bagi partai politik yang bukan pendukung pemerintah. Seperti tidak ada lagi bahan orasi dan kampanye, semua partai politik yang berniat mengusung nama calon presiden baru seolah-olah sepakat untuk berfokus pada kondisi sosial ekonomi masyarakat yang sedang negatif dan mengabaikan keberhasilan pemerintah (tentu saja).
Masyarakat seperti dicekoki kegagalan pemerintah dalam menekan harga-harga, perbandingan harga BBM dengan masa sebelum era SBY, hingga BLT yang dianggap melecehkan kemanusiaan. Lucunya, yang berbicara soal petani tidak pernah menjadi petani. Yang bicara soal BBM tidak menyebutkan langkah pelunasan hutang IMF. Sementara yang bicara soal BLT kemudian mengatakan berada di tengah rakyat saat pembagian BLT.
Ditengah persiapan pesta demokrasi, mendadak sebuah bencana pecah mengejutkan. Tanggul Situ Gintung yang beradi di desa Cireundeu Kabupaten Banten jebol dan menghanyutkan harta benda serta nyawa lebih dari 90 orang, sementara lebih dari 100 orang masih belum ditemukan. Karena letaknya yang berada dekat dengan pusat pemerintahan, semua televisi swasta dan nasional menyiarkannya secara khusus – dan memakan porsi berita yang cukup signifikan. Situ Gintung seperti sebuah garis bawah bencana alam lain yang – bisa jadi – lebih besar namun selalu luput dari sorotan media.
Allah tidak akan menurunkan musibah tanpa alasan. Apapun itu, teguran Allah seperti menjaga kita agar tidak terlena. Euforia politik 5 tahunan boleh tetap berlangsung, namun kita harus ingat bahwa bangsa ini masih perlu menyimpan dana, tenaga, dan pikiran untuk hal lain yang lebih manfaat bagi sebagian besar masyarakat. Apapun janji politik dan tebar pesona yang terjadi selama kampanye, pada akhirnya kita semua harus kembali pada realitas – pada semua kesulitan hidup yang sekarang kita alami. Saat anggota legislatif kembali melangkah dengan anggun ke gedung dewan, kita semua harus kembali ke alat kerja kita atau kembali membuka koran pagi untuk mencari lowongan kerja.
Siapapun pemerintah yang berkuasa atas negeri ini adalah khalifah bangsa yang harus dijunjung tinggi, harus memperoleh sokongan penuh – saat menjalan kebaikan bagi bangsa. Indonesia bukan utopia yang tidak bercacat – karena memang negeri dan bangsa ini sedang berkembang. Hukum alam sudah membuktikan bahwa bangsa yang pernah agung – berada di titik zenith – cepat atau lambat akan turun bahkan mungkin berbalik ke titik nadir. Biarlah bangsa ini berproses dengan alami – dan kita menuju sebuah alam yang lebih baik melalui jalan terjal yang mendewasakan.
Dalam usianya yang relatif muda – 60 tahunan – Indonesia harus diakui oleh banyak negara sebagai bangsa yang tangguh. Dalam keragaman yang sedemikian majemuk – etnis, bahasa, kultur, agama, bentuk kepulauan – ternyata bangsa ini masih mampu mempertahankan bentuk negara kesatuan. Indonesia sudah menjadi cermin bagi banyak bangsa lain bahwa keragaman tidak identik dengan perpecahan.
Kalau kita tinjau sedikit di negara lain – mereka sedang mencoba bertahan dari perpecahan internal karena perbedaan.
Sejak ditinggalkan Marcos, Filipina selalu berada diambang pertentangan dengan kaum Muslim di Selatan. Hampir serupa, Thailand juga rentan pada hal tersebut. Myanmar belum pernah kembali stabil sejak junta militer berkuasa – sekalipun bangsa itu bisa dikatakan homogen. Konflik politik yang berlatar agama antara Inggris dan Irlandia Utara belum tuntas benar hingga sekarang. Di Srilanka, etnis Tamil selalu menjadi momok perpecahan bangsa. India yang berpenduduk terpadat kedua di dunia senantiasa dihantui konflik antar agama di beberapa daerah.
Semoga, azas bangsa yang pertama Ketuhanan Yang Maha Esa, membuat kita selalu sadar bahwa tidak ada kekuatan apapun yang melebihi kuasa Allah – dan karenanya kita tidak pernah putus mendoakan kebaikan dan keselamatan bangsa. Mungkin di antara kita masih ada orang-orang yang berakhlak kurang baik, dan bisa jadi dengan keberuntungan mereka bisa menjadi wakil rakyat. Dengan doa yang tiada putus, semoga Allah senantiasa melindungi kita, bangsa ini, dan segenap wilayah hingga sudut terjauh. Allah mungkin memberikan cobaan, tapi itu semata agar kita tetap ingat bahwa kita masih tergantung padaNya.
Semoga bangsa ini tetap jaya!