Archive for the Sharing Category

Fenomena Jokowi-Ahok

Posted in Kisah, Sharing with tags , , , , , , , , on July 14, 2012 by hzulkarnain

Luar biasa! Itu kata yang bisa diucapkan oleh pengamat dan tentunya pemilih Jokowi saat semua quick count menyebutkan pasangan kandidat gubernur DKI Jokowi-Ahok merebut lebih dari 40% suara pilkada 11 Juli lalu. Memang belum memenangkan pilkada, tetapi pasangan ini membawa angin segar suasana pilkada yang sebelumnya diprediksi akan diraih incumbent dengan relatif mudah.

Gak potongan pejabat tapi justru pamong tulen

Segera setelah diketahui secara unofficial melalui berbagai quick count lembaga survey, kemenangan Jokowi-Ahok ini membuat lembaga-lembaga survey tersebut mencari sebab kesalahan perhitungan mereka. Selain luar biasa, kondisi ini juga sekaligus meruntuhkan kredibilitas mereka. Bagaimana tidak? Tidak ada satu pun lembaga survey punya keyakinan bahwa Jokowi-Ahok akan melibas Foke-Nara dengan cukup telak. Hanya LSI yang menyebutkan selisih kedua pasangan ini sekitar 10%, yang lainnya berkisar di nilai 20%.

Sebelumnya tidak ada yang terlalu yakin pada sosok pasangan ini, karena sama-sama “gak potongan” pejabat. Jokowi yang tinggi kurus, kalem dan berdialek Jawa, khas Solo yang tenang, dan tidak menunjukkan ambisi menyala. Ahok yang muda dan beretnis Tionghoa, seperti pemula yang tidak berpengalaman. Tapi kalau orang mau menilik prestasi keduanya, tidak ada yang berani menyangkal bahwa mereka lah orang-orang pro-rakyat yang sebenarnya. Masalah keduanya cuma satu, yakni mereka berasal dari suatu daerah di luar Jakarta yang tidak semajemuk Jakarta, dan level kompleksitas yang jauh di bawah Jakarta.

Disinggung mengenai perbedaan Jakarta yang kota megapolitan dan berupa propinsi, dengan Solo yang kotamadya dan bukan ibukota propinsi, Jokowi berkilah … besar kecilnya kota itu hanya ukurannya. Masalahnya sama saja. Ini adalah hipotesis Jokowi yang menarik untuk disimak dan diikuti bila nanti dia terpilih menjadi gubernur. Bagi sebagian orang, Jokowi seperti terlalu menyederhanakan permasalahan, sebab Jakarta punya kemajemukan berlipat ganda daripada Solo, seperti: Jakarta adalah ibukota negara yang rawan pada keamanan dan menjadi barometer suhu politik nasional, percampuran dan interaksi sosial bukan hanya etnis tetapi juga ras, kesenjangan kaya – miskin seperti jurang menganga, persoalan banjir dan lalu-lintas yang jauh dari sederhana, dan sebagainya.

Di luar pertanyaan akan kesanggupan Jokowi mengelola kemajemukan permasalahan di DKI, tim sukses besutan PDI Perjuangan dan Gerindra sebagai pengusung utama pasangan Jokowi-Ahok telah berhasil membentuk paket yang unik sekaligus mengena di hati rakyat Jakarta. Misalnya, kesederhanaan berbusana yang diwakili kemeja kotak-kotak yang konon awalnya dibeli di Pasar Tanah Abang. Kemudian, saat pendaftaran di KPUD mereka berangkat dengan Metro Mini yang menjadi ikon rakyat jelata di Jakarta. Saat sosialisasi pun mereka tidak jauh dari kepentingan rakyat, dan langsung berbincang-bincang dengan masyarakat di perkampungan kumuh. Kemeja kotak-kotak mereka segera menjadi tren.

Berpikir out-of-the box adalah ciri orang muda yang kreatif, dan tim sukses Jokowi-Ahok telah menciptakan image muda, segar, dan pembaharu pada kedua sosok ini. Orang jenuh dengan orasi dan pidato, maka pasangan ini pun tidak banyak didapati berpidato panjang lebar. Rakyat bosan dengan janji-janji akan pengendalian banjir, maka konsep penanganan banjir di letakkan di sebuah tempat sementara yang langsung menyentuh hajat hidup rakyat disampaikan langsung pada mereka. Rakyat tidak mengerti soal angka dan statistik, tidak paham soal strategi pemerintahan, mereka hanya perduli soal perut dan kesehatan, maka itulah yang dikedepankan oleh pasangan ini.

Kebiasaan Jokowi “blusukan” ke pasar dan kampung-kampung di Solo, menghadapi unjuk rasa justru dengan mengundang pengunjuk rasa duduk di ruang ber-AC dengan snack dan makan siang, dan memanusiakan pedagang yang pasarnya direlokasi, menjadi harapan besar bagi rakyat Jakarta. Sebagai pemimpin kota yang sadar bahwa dia digaji dari uang rakyat, Jokowi tahu benar cara mengembalikan uang rakyat untuk rakyat, dan inilah yang diharapkan oleh orang Jakarta.

Selain pasangan Hidayat Nurwahid-Didik J Rachbini, sebenarnya praktis massa dari pasangan lain merupakan massa partai yang tidak terlalu solid. Hidayat Nurwahid dari PKS didukung oleh kelompok-kelompok masyarakat simpatisan PKS yang digalang melalui liqo (pengajian) selama bertahun-tahun cukup solid dengan angka sekitar 11%, tetapi tercecer di urutan ketiga. Angka ini tidak bisa disalip oleh tiga pasangan lain yang tampaknya hanya menjadi penggembira, karena prosentase yang sangat kecil. Jika kemudian Jokowi-Ahok berhasil meraih sekitar 42% suara pemilih, melampuai angka golput yang sekitar 35%, ini adalah prestasi luar biasa dari orang yang tidak punya KTP Jakarta.

Pertarungan masih akan berlangsung satu putaran lagi, dan kedua pasangan siap memperebutkan suara yang masih mengambang (golput), serta suara pendukung keempat pasangan lain yang tercecer, khususnya suara PKS yang cukup solid. Ada kemungkinan suara golput akan turun, karena fenomena Jokowi-Ahok yang mencerahkan harapan.

Kalau saya pribadi … Go Jokowi-Ahok!

SEA Games dan Kebangkitan

Posted in Kontemplasi, Sharing with tags , , , , , , on November 16, 2011 by hzulkarnain

INDONESIA BISA!

Begitulah slogan yang didengungkan bangsa ini untuk mendukung para atlit Indonesia di kancah SEA Games. Kita pernah menjadi tuan rumah dan gagal menjadi juara umum, dan secara memalukan harus menundukkan kepala dibantai negara-negara jiran di tanah sendiri. Padahal, bangsa ini besar, kuat, dan punya tradisi juara di kancah perhelatan olah raga se-Asia Tenggara. Sekarang, Indonesia menjadi tuan rumah lagi dan inilah saatnya untuk membuktikan bahwa kita masih punya tradisi juara itu.

Yang lebih membanggakan daripada sekedar memenangkan kejuaraan adalah ketetapan dari petinggi yang mengurusi olahraga untuk memunculkan bibit-bibit baru atlit mendampingi para veteran dalam laga internasional ini. Dan, pada kenyataannya, bibit-bibit muda atlit Indonesia telah menunjukkan kapasitas positif yang membanggakan – di hampir semua cabang olahraga. Misalnya, juara lari 100 meter putra dan putri dengan sangat membanggakan jatuh ke tangan atlit muda kita, yakni Franklin Ramses Burumi dan Serafi Anelis Unani. Beberapa cabang di luar atletik yang juga bersifat non-permainan seperti dayung, renang, dan sepatu roda menyumbangkan banyak medali emas oleh para atlit yang tidak terlalu kita kenal namanya.

Bangga… itu pasti. Akan tetapi, kita ingat bahwa beberapa saat sebelum perhelatan ini dimulai begitu banyak masalah yang terjadi di Palembang yang menyebabkan munculnya pesimisme. Mulai dari pembangunan wisma atlit yang diterpa isu korupsi, gelanggang yang belum siap, infrastruktur yang belum beres, dan banyak lagi. Bahkan sekarang pun, saat SEA Games sudah berlangsung, masih sangat terlihat kondisi yang apa adanya, asal memenuhi syarat. Tidak ada kemewahan dan keindahan yang memberikan kesan.

Para atlit mengeluhkan katering, angkutan antar venue yang berusaha ramah lingkungan tetapi disiapkan ala kadarnya, suasana kompleks olahraga yang masih gersang, kering, dan panas, dan macam-macam lagi. Untungnya … prestasi anak bangsa yang bertanding moncer. Dampaknya, khalayak boleh sedikit melupakan penilaian negatif tentang fasilitas di Jakabaring.

Inikah kebangkitan kembali olahraga bangsa ini? Kita harapkan demikian. Kita bahkan sudah mulai lupa, kapan kita ini bangga dengan prestasi anak negeri di bidang olahraga. Padahal penduduk Indonesia ini hanya kalah oleh China, India, dan Amerika Serikat di dunia. Sementara prestasi kelas dunia hampir tidak ada yang diukir oleh orang Indonesia (atau memang malah tidak ada?).

Saat sang merah putih berkibar, Indonesia Raya berkumandang, bahkan pemirsa televisi di rumah bisa menitikkan airmata tanda keharuan. Menjadi superior di antara bangsa lain merupakan kebanggan sekaligus cita-cita kita bersama, dan ajang olahraga adalah pembuktian yang nyata.

Unsur dasar olahraga adalah atletik, yaitu: lari, lempar, lompat, dan jalan, yang pada ujungnya berbicara soal kekuatan. Struktur tubuh orang Asia Tenggara pada dasarnya memang kurang ideal untuk mencapai prestasi puncak dalam olahraga, bila dibandingkan dengan ras kaukasia dan negro. Tidak mengherankan, negara-negara yang mayoritas berkulit putih dan hitam mendominasi kekuatan olahraga sejagat. Atlit berkulit putih terkenal dalam olah raga senam, renang, atletik, dan beberapa cabang olahraga permainan. Atlit negro Amerika dan Karibia terkenal dalam lari jarak pendek dan menengah, beberapa olah raga permainan, termasuk tinju.

Ras kuning dari Asia Timur belakangan juga menyusul, sekalipun masih belum sekuat ras putih dan hitam. China, Jepang, dan Korea adalah naga-naga Asia yang terbangun dan menggetarkan dunia. Jangankan dalam olimpiade, di level Asia saja (Asian Games) terbukti sulitnya orang-orang Asia Tenggara menembus dominasi ras kuning tersebut.

Namun demikian, perlu dicatat bahwa tidak semua cabang olahraga membutuhkan struktur otot besar, bahkan tidak ada hubungannya dengan besarnya otot misalnya panahan, menembak, tenis meja, bulu tangkis, dsb. Di luar bulu tangkis, ternyata prestasi atlit kita masih terhitung payah, belum konsisten. Seharusnya, di cabang-cabang yang tidak membutuhkan kekuatan otot seperti ini kita bisa menonjol hingga di tingkat dunia.

Nikmati dan syukuri yang ada. Itu adalah kata-kata bijak dari ajaran agama agar manusia tidak meratapi kekurangan dan mengharapkan kelebihan yang berada di luar jangkauan. Kalau memang orang Indonesia hanya bisa berprestasi di kancah Asia Tenggara … biar saja! Para pemuka daerah, petinggi negeri, dan pemimpin organisasi olahraga harus bertanggung jawab menemukan bibit-bibit atlit baru di segenap bumi Indonesia … agar muncul nama-nama baru menyegarkan jagat olahraga Indonesia.

Semoga!

Membunuh Kemajuan Umat Islam

Posted in Sharing, Tausiyah with tags , , on October 26, 2011 by hzulkarnain

Dalam suatu mimbar Jumat di bulan September, sang khotib menukil sebuah artikel yang pernah dibacanya, sebuah tulisan seorang non-muslim tentang kebangkitan Islam. Dikisahkannya, sebagai orang Barat dengan tradisi Nasrani dan sekuler, sang penulis artikel melihat ketaatan orang Islam pada agamanya sungguh kuat. Sholat yang merupakan perwujudan kesujudan pada Tuhan bukan hanya seminggu, bahkan sehari sampai 5 kali, itu dilakukan orang Islam dengan taat. Bulan Ramadhan, mau bersusah payah melaparkan diri dan kehausan hanya semata-mata karena menjalankan perintah Tuhannya. Kemudian, mengeluarkan sebagian harta untuk orang miskin dalam bentuk zakat. Semuanya tanpa pengawasan, semuanya datang dari diri sendiri, tetapi ketaatan umat Islam sungguh tak bisa disangkal. Masjid-masjid selalu dihadiri umat dari berbagai lapisan usia, sementara gereja-gereja di Eropa yang dulu menjadi pusat peradaban Kristen semakin kosong – hanya dihadiri segelintir jemaat berumur lanjut.

Ketakjuban sang penulis tersebut – yang namanya tak pernah disebut oleh sang khotib – membawanya ke penelitian lebih jauh dan membuatnya lebih takjub. Umat Islam di seluruh dunia menjalankan kaidah agamanya sekalipun tidak ada khalifah tunggal seperti halnya agama Katolik. Orang Islam tidak berkumpul dalam wilayah tertentu, melainkan tersebar dalam rentangan geografis yang sangat luas di Asia – bahkan belakangan di Eropa dan Amerika Serikat, namun semuanya menjalankan perintah yang sama dengan cara yang sama seolah-olah digerakkan oleh sesuatu yang besar. Padahal, pengajaran agama ini melalui sekurangnya 4 mazhab besar, dan entah berapa banyak tafsir Qur’an dan Hadits yang tersebar di seluruh dunia. Islam adalah agama dengan perkembangan yang terhebat di Eropa, Amerika, dan dunia.

Meskipun Nabi Muhammad sudah wafat sekian abad silam, pengaruh pengajarannya masih sedemikian kuat. Bukan hanya memimpin umat Islam dalam agama, beliau juga seorang kepala pemerintahan, panglima perang, waktu mudanya menjadi wirausahawan, yang mengajarkan semuanya sebagai sebuah pengetahuan yang komprehensif. Segenap perilaku dan ucapannya adalah pengejawantahan Al-Qur’an sebagai kitab suci yang dibawanya. Jadi, orang Islam menjalankan Islam tidak sekedar menjalankan syariat agama tetapi juga cara hidup dan berperilaku Islami.

Dalam kesimpulannya, artikel itu menyebutkan bahwa kunci dari semua kekuatan Islam adalah Al-Qur’an. Sebenarnya, inilah negeri bayangan (virtual country) yang bernama Islam itu. Di sanalah umat Islam tinggal dan menjalankan semua peri kehidupannya. Jadi, bila ingin meruntuhkan orang Islam, bukan dengan kekerasan fisik atau penindasan. Sudah terbukti bahwa penindasan, kekerasan, bahkan penjajahan ternyata tidak mampu menjauhkan kaum muslimin dari agamanya. Cara yang tersisa hanya satu: menjauhkan orang Islam dari Al-Qur’an. Karena, Al-Qur’an adalah pedoman hidup yang luar biasa dan memberi inspirasi tiada habisnya. Bila orang Islam sudah tidak lagi mempercayai kitan suci ini, mereka akan mudah digoyang dan tinggal menunggu kejatuhan.

Menurut sang khotib, ini adalah pengakuan jujur dari seorang non-muslim. Sebuah pengakuan – tetapi (bagi saya) juga ancaman terbuka dari pihak-pihak yang tidak menyukai bangkitnya kultur Islam sebagai pandangan hidup. Inilah sebabnya modus untuk melunturkan keimanan orang Islam tidak sekonvensional dulu lagi, yang kebanyakan berupa kekerasan atau tipu daya berlandaskan ekonomi. Modus semacam itu, kalaupun berhasil pada satu dua orang, tampaknya tidak akan berhasil mengubah pikiran massa Islam.

Langkah paling logis setelah tidak berhasil menekuk peradaban Islam dengan kekerasan adalah membuat umat Islam meragukan Al-Qur’an. Hal pertama yang bisa diperdebatkan adalah asal usul Al-Qur’an dan logika di dalamnya, yang dirujukkan pada cara orang Barat dan Yahudi berlogika. Beberapa debat seperti ini (yang akhirnya jadi debat kusir tiada akhir) bisa dijumpai dalam pemikiran liberal orang-orang JIL. Saya tidak hendak mengatakan JIL identik dengan model berpikir seperti ini, tetapi pemikiran yang liberal bebas seperti ini diwadahi dalam JIL. Bagi saya pribadi, manusia diberi akal untuk menalar dan berlogika, baik dengan pikiran maupun perasaan. Ini sudah menjadi ketentuan dari Allah, dan karena Indonesia bukan negara Islam, silakan saja siapa saja berpikir bebas tentang Islam dan Al-Qur’an. Yang jelas, Al-Qur’an sudah ada yang menjaga, dan hingga akhir jaman akan selalu ada orang yang meneguhkan kemurnian kalam Allah ini. Ini juga menjadi ketentuan Allah di dalam Al-Qur’an.

Kotbah sang khotib berhenti di sini. Tetapi saya pernah membaca hal yang lebih jauh lagi.

Dari beberapa sumber yang cukup banyak beredar, misalnya majalah Hidayatullah, beberapa buletin Jumat berbasis salafi, pengajian-pengajian, disebutkan bahwa ancaman paling serius yang berpotensi besar menjauhkan umat Islam dari Al-Qur’an adalah cara terhalus bagi generasi muda … yakni gaya hidup “modern”. Ini adalah tipu daya kaum Yahudi. Gaya hidup modern yang hedonistik, yang memuja kesenangan fisik, membuat generasi muda yang secara akidah tidak terkawal mudah terjerumus ke dalam kemaksiatan. Generasi muda adalah kata kunci pertama, dan hedonistik adalah kata kunci kedua. Sambungkan kedua kata kunci ini, maka bila berhasil umat Islam akan kehilangan sebuah generasi yang penting. Cara ini butuh waktu, tetapi dampaknya sangat luar biasa.

Kekuatan sebuah bangsa bisa dilihat dari generasi mudanya. Semakin kuat dan tangguh mereka, kian berkarakter mereka, maka generasi muda tersebut bisa menopang tegaknya bangsa. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa, bila pemuda di sebuah negeri (setingkat kota sekarang ini) rajin solat subuh berjamaah, tidak ada kekuatan asing yang berani menyerang negeri itu. Bila pemudanya sudah lemah, tidak lagi tergerak untuk solat subuh berjamaah, keruntuhan tinggal menunggu waktu.

Bangsa ini mungkin sedang dalam posisi yang kurang baik, tetapi pertolongan Allah selalu muncul. Kita beruntung, sisi religius bangsa ini masih cukup mudah digerakkan, sehingga sekularisme tidak bergerak cepat sebagaimana yang muncul di Turki dan Mesir. Elemen masyarakat sendiri juga tidak menghendaki sekulerisme yang memisahkan urusan agama dengan peri kehidupan sehari-hari merebak di Indonesia. Pancasila menghendaki agama sebagai panduan tiap penduduk Indonesia.

Menjadi Islam haruslah kaffah, mendekatkan diri dengan jalan Allah dengan wujud melaksanakan tuntunan Al-Qur’an dan Hadits. Kehilangan keduanya sama saja dengan kehilangan Islam. Untuk tetap menjadi muslim yang kuat, hanya satu cara yang ada yakni memperkuat ikatan dengan mengaji Al-Qur’an dan memahami isinya, melalui guru dan pembimbing yang mumpuni.