Luar biasa! Itu kata yang bisa diucapkan oleh pengamat dan tentunya pemilih Jokowi saat semua quick count menyebutkan pasangan kandidat gubernur DKI Jokowi-Ahok merebut lebih dari 40% suara pilkada 11 Juli lalu. Memang belum memenangkan pilkada, tetapi pasangan ini membawa angin segar suasana pilkada yang sebelumnya diprediksi akan diraih incumbent dengan relatif mudah.
Segera setelah diketahui secara unofficial melalui berbagai quick count lembaga survey, kemenangan Jokowi-Ahok ini membuat lembaga-lembaga survey tersebut mencari sebab kesalahan perhitungan mereka. Selain luar biasa, kondisi ini juga sekaligus meruntuhkan kredibilitas mereka. Bagaimana tidak? Tidak ada satu pun lembaga survey punya keyakinan bahwa Jokowi-Ahok akan melibas Foke-Nara dengan cukup telak. Hanya LSI yang menyebutkan selisih kedua pasangan ini sekitar 10%, yang lainnya berkisar di nilai 20%.
Sebelumnya tidak ada yang terlalu yakin pada sosok pasangan ini, karena sama-sama “gak potongan” pejabat. Jokowi yang tinggi kurus, kalem dan berdialek Jawa, khas Solo yang tenang, dan tidak menunjukkan ambisi menyala. Ahok yang muda dan beretnis Tionghoa, seperti pemula yang tidak berpengalaman. Tapi kalau orang mau menilik prestasi keduanya, tidak ada yang berani menyangkal bahwa mereka lah orang-orang pro-rakyat yang sebenarnya. Masalah keduanya cuma satu, yakni mereka berasal dari suatu daerah di luar Jakarta yang tidak semajemuk Jakarta, dan level kompleksitas yang jauh di bawah Jakarta.
Disinggung mengenai perbedaan Jakarta yang kota megapolitan dan berupa propinsi, dengan Solo yang kotamadya dan bukan ibukota propinsi, Jokowi berkilah … besar kecilnya kota itu hanya ukurannya. Masalahnya sama saja. Ini adalah hipotesis Jokowi yang menarik untuk disimak dan diikuti bila nanti dia terpilih menjadi gubernur. Bagi sebagian orang, Jokowi seperti terlalu menyederhanakan permasalahan, sebab Jakarta punya kemajemukan berlipat ganda daripada Solo, seperti: Jakarta adalah ibukota negara yang rawan pada keamanan dan menjadi barometer suhu politik nasional, percampuran dan interaksi sosial bukan hanya etnis tetapi juga ras, kesenjangan kaya – miskin seperti jurang menganga, persoalan banjir dan lalu-lintas yang jauh dari sederhana, dan sebagainya.
Di luar pertanyaan akan kesanggupan Jokowi mengelola kemajemukan permasalahan di DKI, tim sukses besutan PDI Perjuangan dan Gerindra sebagai pengusung utama pasangan Jokowi-Ahok telah berhasil membentuk paket yang unik sekaligus mengena di hati rakyat Jakarta. Misalnya, kesederhanaan berbusana yang diwakili kemeja kotak-kotak yang konon awalnya dibeli di Pasar Tanah Abang. Kemudian, saat pendaftaran di KPUD mereka berangkat dengan Metro Mini yang menjadi ikon rakyat jelata di Jakarta. Saat sosialisasi pun mereka tidak jauh dari kepentingan rakyat, dan langsung berbincang-bincang dengan masyarakat di perkampungan kumuh. Kemeja kotak-kotak mereka segera menjadi tren.
Berpikir out-of-the box adalah ciri orang muda yang kreatif, dan tim sukses Jokowi-Ahok telah menciptakan image muda, segar, dan pembaharu pada kedua sosok ini. Orang jenuh dengan orasi dan pidato, maka pasangan ini pun tidak banyak didapati berpidato panjang lebar. Rakyat bosan dengan janji-janji akan pengendalian banjir, maka konsep penanganan banjir di letakkan di sebuah tempat sementara yang langsung menyentuh hajat hidup rakyat disampaikan langsung pada mereka. Rakyat tidak mengerti soal angka dan statistik, tidak paham soal strategi pemerintahan, mereka hanya perduli soal perut dan kesehatan, maka itulah yang dikedepankan oleh pasangan ini.
Kebiasaan Jokowi “blusukan” ke pasar dan kampung-kampung di Solo, menghadapi unjuk rasa justru dengan mengundang pengunjuk rasa duduk di ruang ber-AC dengan snack dan makan siang, dan memanusiakan pedagang yang pasarnya direlokasi, menjadi harapan besar bagi rakyat Jakarta. Sebagai pemimpin kota yang sadar bahwa dia digaji dari uang rakyat, Jokowi tahu benar cara mengembalikan uang rakyat untuk rakyat, dan inilah yang diharapkan oleh orang Jakarta.
Selain pasangan Hidayat Nurwahid-Didik J Rachbini, sebenarnya praktis massa dari pasangan lain merupakan massa partai yang tidak terlalu solid. Hidayat Nurwahid dari PKS didukung oleh kelompok-kelompok masyarakat simpatisan PKS yang digalang melalui liqo (pengajian) selama bertahun-tahun cukup solid dengan angka sekitar 11%, tetapi tercecer di urutan ketiga. Angka ini tidak bisa disalip oleh tiga pasangan lain yang tampaknya hanya menjadi penggembira, karena prosentase yang sangat kecil. Jika kemudian Jokowi-Ahok berhasil meraih sekitar 42% suara pemilih, melampuai angka golput yang sekitar 35%, ini adalah prestasi luar biasa dari orang yang tidak punya KTP Jakarta.
Pertarungan masih akan berlangsung satu putaran lagi, dan kedua pasangan siap memperebutkan suara yang masih mengambang (golput), serta suara pendukung keempat pasangan lain yang tercecer, khususnya suara PKS yang cukup solid. Ada kemungkinan suara golput akan turun, karena fenomena Jokowi-Ahok yang mencerahkan harapan.
Kalau saya pribadi … Go Jokowi-Ahok!