Archive for February, 2010

Fesbuk Lagi … Lagi-Lagi Facebook

Posted in Kontemplasi, Psikologi, Sharing with tags , on February 24, 2010 by hzulkarnain

Herdian Zulkarnain

Seorang tetangga curhat tentang anaknya yang sekarang berumur 12 tahunan, kelas 6 SD ….

fesbuk lagi ....

Hari-hari belakangan ini berlalu seperti biasa, meskipun anak perempuan tetangga tersebut sudah mendekati UAS. Hingga suatu hari, ketika tetangga tersebut dan anaknya sedang nonton pertandingan volley warga, mereka bertemu dengan sesama orang tua murid. Dan terjadilah perbincangan di bawah …

“Hei Nana, bagaimana try out-nya hari Senin kemarin? Kata Linda susah ya?”

“Baik Tante. Memang susah sih …”

Setelah sedikit basa-basi mereka pun berpisah. Sekarang giliran si Ibu – tetangga saya itu – menginterogasi anaknya.

“Kamu memang try-out hari Senin kemarin?” Si Ibu ini cemas.

“Bener Ma,” jawab Nana santai.

“Try out apa?”

”Matematika….”

“Kayaknya kamu nggak belajar deh waktu itu …. Salah berapa kamu?” Si Ibu tambah cemas.

“Cuma ….. salah 42 kok Ma?” kilah Nana masih dengan kepolosannya.

“Haaa …. salah 42 kok cuma! Hayo kenapa kamu nggak bilang kalau mau try out?”

“Habis … kalau Nana bilang ada try out, entar nggak boleh fesbuk-an ….”

ABG à peer group à sosialisasi yang lebih luas à fesbuk … sepertinya rentetan alur logika yang masuk akal, dan cukup menjawab pertanyaan besar kecanduan remaja pada fesbuk.

Secara hormonal, anak yang beranjak remaja mulai menginginkan ruang komunikasi yang lebih luas. Begitu mereka masuk ke dalam sebuah kelompok pertemanan, dan menjadikannya referensi, pemikiran kelompok itu menjadi bagian penting dari cara berpikirnya juga.

Kekeliruan umum yang dilakukan oleh orang tua adalah kecenderungan melihat tingkat sekolah anak, bukan tataran usianya. Kalau masih SD belum pantas ini-itu, kalau masih SMP belum boleh pacaran, nggak boleh fesbuk-an nanti ngganggu belajar … dan seterusnya. Padahal, level sekolah manusia juga yang menetapkan, sementara masuk masa akhil balig tiba karena proses alami. Usia 10 tahunan, sudah banyak anak perempuan yang mengalami menstruasi pertamanya – sekalipun masih kelas 4 SD.

Orang tua juga harus mulai memperlakukan anak secara berbeda dengan sebelumnya, saat tanda-tanda seks sekunder muncul. Bagi anak perempuan, berarti tubuh yang mulai terbentuk dan payudara yang membesar. Bagi anak laki-laki, tanda paling jelas adalah suara yang pecah dan atau tumbuh kumis. Menganggap anak yang berangkat remaja masih seperti anak-anak adalah kekeliruan kedua.

Anak-anak patuh pada orang tua, karena referensi utama mereka adalah orang tua. Komunikasi searah pun tidak masalah dilakukan, sebab anak akan menerima apapun pesan yang disampaikan. Di lain pihak, remaja yang mulai mengembangkan akal pikiran mereka punya referensi lain, yaitu teman-teman sebaya. Akibatnya, tidak semua ucapan orang tua bisa diterima anak dengan senang hati.

Fesbuk (facebook) adalah program komputer yang memungkinkan seseorang terkoneksi secara virtual dengan orang lain, bahkan hingga ke belahan dunia yang lain. Sebelumnya ada program yang bernama Friendster, yang lebih kurang juga menjalin pertemanan via internet, tetapi tidak booming seperti fesbuk yang telah menggaet jutaan warga dunia.

Kelebihan fesbuk adalah keragaman pilihan komunikasi dan sifatnya real-time. Kalau saya menuliskan sebuah status di wall saya, saat itu juga teman saya yang sedang online bisa langsung tahu kabar saya. Dia bisa menanggapi status terbaru saya di sana, atau masuk ke inbox untuk pesan yang lebih personal dan rahasia, atau bahkan bisa mengajak saya chatting.  Popularitas chatting fesbuk mungkin sekarang mulai menggoyahkan Yahoo Messenger yang sudah jauh lebih dahulu dikenal orang.

Pengin tahu kabar dan komentar teman, itulah yang membuat fesbuk didatangi. Hanya dengan melihat-lihat kabar teman, berkomentar, upload foto (biasa …. remaja sekarang hobi-nya difoto dan memfoto), waktu 3 – 4 jam bisa berlalu dengan cepat. Tidak mengherankan waktu untuk belajar jadi tersita.

Belum lagi fesbuk juga menyediakan aplikasi game yang cukup menarik – sekalipun sebenarnya sangat – sangat – sangat sederhana. Game berbasis teks seperti Mafia Wars dan Yakuza Lords, atau game 2 D dengan avatar yang merepresentasikan kita seperti Farmville dan Cafe World, adalah contoh game fesbuk yang digemari.

Friendster tidak lagi in, dan twitter tampaknya tidak akan sanggup menggeser fesbuk. Fesbuk membuat remaja gandrung bahkan mencandu, sehingga tak dapat disangkal lagi sekarang  telah menjadi bagian dari gaya hidup remaja yang melek internet. Pegang HP-pun mereka buka aplikasi fesbuk lewat Mini-Opera.

Semua teknologi pasti menimbulkan pro dan kontra, termasuk fesbuk dan HP. Guru dan orang tua, bahkan sekarang media ramai-ramai mencela fesbuk. … sementara si remaja jalan terus ber-fesbuk ria. Apa bisa melarang remaja tidak ber-fesbuk ria?

disconnected ...

Fesbuk itu nikmat, itu konsep di pikiran remaja. Apapun yang nikmat lalu dilarang, akan menimbulkan dampak samping. Mengunci akses fesbuk remaja tidak akan menyelesaikan masalah, karena naluri survival mereka akan mencari cara untuk kembali fesbuk-an. Sama dengan dulu waktu demam PS, dan banyak rental PS bertebaran di mana-mana. Sekarang, demam itu sudah reda. Begitu juga nantinya dengan fesbuk, demamnya akan reda dan fesbuk tinggal menjadi salah satu program internet biasa.

Masalahnya adalah, saat masih demam seperti ini bagaimana membatasi remaja ber-fesbuk ria? Tidak menghabiskan waktu di sana dan menomor duakan pelajaran di sekolah. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan:

  1. Orang tua harus kenal fesbuk. Seperti biasa, remaja akan mengemukakan semua argumen bila dilarang ini dan itu. Cara paling ampuh adalah memahami hal yang menjadi kesukaan remaja. Buka pikiran, dan pelajari apa dan bagaimana fesbuk itu.
  2. Jadi teman anak dalam fesbuk. Dengan menjadi teman dalam fesbuk, orang tua bisa melihat siapa saja teman anak, termasuk “mengintip” komunikasi wall di antara mereka.
  3. Jadikan fesbuk sebagai reward. Jadi, reward diberikan kalau anak sudah menyelesaikan perintah orang tua. Bahkan kalau bisa meyakinkan orang tua dengan nilai-nilai pelajaran yang baik.
  4. Kendalikan waktu belajar anak. Jangan ada perbedaan sikap antara ayah dan ibu soal waktu belajar. Selama waktu belajar, pastikan anak belajar, dan tidak ada kompromi.
  5. Koordinasi dengan sekolah untuk mengetahui skedul tryout dan ujian. Ini seringkali diabaikan orang tua. Jangan percaya anak begitu saja, dan dengan menjalin komunikasi dengan guru / wali kelas, akan banyak manfaat lain yang bisa diambil.
  6. Berkomunikasi dengan remaja dengan cara yang berbeda. Dalam analisis-transaksional, dikenal komunikasi parent – to – child, dan ini biasa dilakukan orang tua sejak anak masih kecil. Menghadapi remaja, orang tua harus menurunkan levelnya menjadi adult, karena remaja menaikkan levelnya dari child ke adult. Jadi, komunikasi yang terjadi adalah adult – to – adult (orang dewasa ke orang dewasa). Jadi, orang tua menganggap si anak figur dewasa, agar komunikasi menjadi terbuka sebab anak ingin dianggap dewasa dan level pembicaraan setara.

Pada akhirnya, yang ingin kita tumbuhkan dari seorang remaja adalah sikap dan perilaku yang bertanggung jawab. Fesbuk-an tak kenal waktu adalah indikasi bahwa remaja masih belum bisa bertanggung jawab atas dirinya sendiri. Yang dilarang jangan fesbuk-nya, tapi tumbuhkan sikap dan perilaku bertanggung jawab … maka fesbuk tidak lagi menjadi momok. Tumbuhnya tanggung jawab ini secara otomatis akan menurunkan demam fesbuk.

Memberi Makna pada Kehidupan

Posted in Kontemplasi, Psikologi, Sharing with tags , on February 16, 2010 by hzulkarnain

Seekor monyet (sebut saja monyet kita) yang bersemangat berhasil mencapai sebuah puncak pohon yang tidak terlalu besar tapi cukup tinggi. Ia gembira karena sekarang bisa melihat alam sekelilingnya dengan bebas, ia merasa menjadi momyet yang paling berbahagia. Di pohon itu, ia bisa tidur dan makan dengan tenang, dan lebih gembira lagi karena ia berteman dengan binatang lain yang juga menginginkan kehidupan yang tenang. Monyet-monyet lain yang lebih muda tidak berani naik ke puncak tanpa ijinnya, karena sekarang ia adalah penguasa pohon itu.

Tiba-tiba dilihatnya seekor monyet lain di sebuah pohon lain yang lebih besar dan lebih tinggi. Jaauuhh lebih besar dan jauuuh lebih tinggi.Pohon itu adalah salah satu yang terbesar dan tertinggi di hutan. Monyet kita membayangkan betapa enaknya duduk di puncak pohon tertinggi itu, betapa lebih luas pemandangan dari sana, betapa enaknya.

Monyet kita akhirnya mengenali monyet lain itu sebagai teman masa kecilnya duluuu… sekali. Monyet kita menjadi iri, kenapa dia tidak bisa mendapatkan pohon itu, padahal ia juga mampu jadi seperti monyet temannya itu. Dari iri, ia menjadi marah … marah pada dirinya sendiri, marah pada temannya yang berhasil itu.

Oh no ... I made a mistake

Tanpa pikir panjang, monyet kita meninggalkan pohonnya yang nyaman, dan pindah ke pohon tempat temannya berkuasa. Tanpa diduga, sejak di cabang bawah, sudah banyak monyet lain yang berusaha naik, tetapi kebanyakan gagal sebab persaingan ke puncak sangat ketat. Dengan kekuatannya, monyet kita itu terus mencoba mengatasi masalah menuju puncak pohon.

Monyet kita mulai mengalami luka-luka dari beberapa perkelahian ke puncak. Semakin mencoba ke atas, lebih banyak luka yang dideritanya karena lawannya juga semakin berat. Monyet kita yakin, kalau temannya bisa ia juga pasti bisa! Hingga akhirnya, di sebuah tempat tidak jauh dari puncak, monyet kita tak tahan lagi dengan lukanya – ia terlempar dari pohon itu meluncur ke bawah.

Ketika sadar dari pingsannya, ternyata ia ada di bawah pohon. Untuk naik lagi, ia sudah mulai ngeri, membayangkan perkelahian yang akan dialaminya. Maka, monyet kita kembali ke pohonnya.

Apa yang ditemuinya di sana? Seekor monyet besar muda sudah berada di puncak. Monyet-monyet lain menjadi lebih beringas – tidak lagi takut padanya seperti kemarin…. Monyet kita menyesal bukan main. Tadinya ia ingin meraih gunung, tapi terlalu terburu-buru ia melepaskan pisang di tangan. Kehilangan di sini, tak tercapai di sana, membuatnya tidak tahu lagi apa yang sedang dikejarnya ….

Kisah di atas mungkin hanya fabel, namun dorongan untuk bergerak, berubah, bertambah baik dan menemukan impian adalah sifat hakiki manusia, sekaligus membedakan manusia dengan berbagai mahluk lain ciptaan Tuhan. Untuk itu, manusia dibekali sifat berjuang dan bertahan hidup (survive), untuk menentukan kapan harus bertarung dan tahu saat harus mundur. Kalah sebenarnya adalah hal yang alami, lumrah bagi manusia yang memang tidak sempurna, namun bagi orang yang selalu berhasil sebuah kekalahan merupakan cela yang membuatnya stress.

Stress adalah semacam mekanisme pertahanan ego, yang berfungsi saat kita merasa ada ancaman dan perlu waspada. Saat ujian jadi stress, hendak “nembak” cewek juga stress, dipanggil boss jadi stress … bahkan diam di rumah saja bisa stress. Ya, stress seperti sebuah meter pengukur untuk melihat seberapa baik kondisi mental kita.

Seorang teman belakangan ini cenderung stress yang mengarah depresi terselubung (masked depression). Tanpa ada pemicu, ia bisa cemas sendiri, yang kemudian memunculkan tanda-tanda psikosomatis berupa gastritis dan insomnia. Akhirnya ia berkisah, bahwa memang ia terbiasa sukses sejak muda – seperti masuk SMA tanpa tes, masuk perguruan tinggi PMDK, pindah ke sekolah teknik terkemuka di Bandung dengan sukses, bahkan sebagai manajer safety ia adalah orang yang dipercaya penuh oleh boss. Belakangan, ia bertemu dengan teman-teman kuliah yang dianggapnya jauh lebih sukses: Presdir di perusahaan group terkemuka, komandan batalion, dan jabatan prestisius lainnya. Sementara dirinya tidak bisa kemana-mana lagi … dan dengan umurnya sekarang sudah semakin sulit untuk mengejar karier di tempat lain. Meter pengukur dalam dirinya sudah membunyikan alarm, yang mengindikasikan bahwa mentalnya tidak sedang dalam kondisi prima. Ada suatu hal yang perlu diselesaikannya agar kembali ke level equilibrium.

Apakah stress bisa dimanipulasi? Mungkin bukan stress-nya, tetapi ukuran ambang keberhasilan dan kegagalannya yang bisa dimanipulasi. Coba perhatikan, mengapa kita stress? Waktu belanja di mall tidak stress, malah relax, tetapi kondisi bisa berubah setelah sadar dompet uang dan kartu kredit ketinggalan di mobil. Kalau mata ujian kita kuasai, jadinya relax, tetapi bisa berubah seketika waktu diberitahu bab yang diujikan berbeda. Stress selalu muncul ketika ada kondisi yang mengancam – tepatnya secara subjektif mengancam pada individu tersebut.

Ancaman itu sifatnya subjektif. Bagi seseorang mengancam, belum tentu bagi individu lain. Dua murid sekolah yang sama, menghadapi ujian yang sama, belum tentu mengalami stress yang sama – sekalipun keduanya sama-sama kurang siap. Yang seorang takut tidak lulus sehingga stress, yang seorang lagi tidak perduli pada nilai ujian sehingga tidak kecemasan dan stress.

Konsep tawakkal dalam Islam merupakan langkah yang menarik untuk dikaji dalam Psikologi, yakni berserah kepada Tuhan Yang Maha Kuasa setelah semua upaya dilakukan. Karena tidak ada yang tahu masa depan, maka konsep ini penting sekali dalam menghadapi ketidak pastian. Dengan tawakkal, manusia meningkatkan ambang penerimaan pada kegagalan, dengan dalih bahwa ada kekuatan di luar kita yang paling menentukan dan bisa membuat perbedaan dengan rencana sebelumnya.

Dalam tawakkal juga termuat prasangka baik kepada Tuhan, karena hanya Dia yang mengetahui apa yang terbaik bagi kita – sekalipun kita manusia ini tak jarang mencibir pilihan Allah kepada kita.

Saya katakan kepada teman saya tersebut – mungkin dengan keberadaannya di jabatan yang sekarang (harap dicatat: jabatan itu selevel manajer dan berada di sebuah perusahaan asing) dia lebih punya banyak waktu dengan hobi fotografinya. Mungkin justru dengan fotografinya ia lebih sukses di masa depan.

Akhirnya ia bercerita juga bahwa, di perusahaan sebelumnya stress kerja benar-benar menghimpit, karena tiap persoalan harus dipresentasikan hingga ke induk di Inggris. Kesibukannya sungguh menyita waktu, hingga bawahan, teman, bahkan keluarga mulai protes. Ia merasa sudah di ambang batas kemampuannya. Di tempat kerja yang sekarang, dengan gaji yang juga tidak kecil, load kerja jauh menurun sehingga banyak waktu luang untuk hobby dan keluarga. Yang hilang adalah peluang menapaki karier yang lebih prestisius.

Sukses juga subjektif, karena tidak ada norma atau batasan yang jelas tentang hal tersebut. Apakah yang kaya dan pensiun muda seperti Robert Kiyosaki atau sejumlah motivator itu yang sukses? Apakah Steve Jobs dan Bill Gates yang berinovasi terus di usia mereka yang lanjut bukan orang yang sukses? Apakah Pak Fulan petani biasa yang mencetak 4 anaknya menjadi pengusaha itu yang sukses? Atau Pak Fulan yang konglomerat tapi seorang anaknya mati karena overdosis? Apakah SBY sukses? Apakah Gus Dur sukses? Apakah Christine Hakim sukses? Apakah Utut Adianto sukses? Apakah Ayah kita sukses?

Saya katakan, ada orang biasa yang berkaliber Gandhi, Columbus, Diponegoro, atau Sukarno. Mereka dianggap sukses dan menjadi pahlawan bagi bangsanya. Ada yang sekaliber KH Hasyim Asy’ari, KH Ahmad Dahlan, Bill Gates, Steve Jobs, Linus Thorvald, yang menjadi pahlawan bagi kelompoknya. Ada yang menjadi pahlawan bagi lingkungannya, membangun sistem irigasi, listrik desa, kota yang bersih dan nyaman, dsb. Lebih banyak lagi yang menjadi pahlawan bagi keluarga. Lalu ada yang cukup jadi pahlawan bagi dirinya sendiri. Akan tetapi, ada juga orang yang tidak sanggup apa-apa, bahkan tidak mampu memberikan sukses pada dirinya sendiri. Jangankan memberi arti, bahkan tak sedikit yang menjerumuskan dirinya sendiri ke lembah kenistaan – dengan berbuat kriminal, melacurkan diri (termasuk koruptor), dan meracuni diri dengan alkohol atau narkoba.

Kenapa bisa berbeda-beda? Ya, karena Tuhan mempunya grand design bagi seluruh manusia, agar mesin besar yang bernama dunia ini berjalan dengan lancar. Bayangkan, dalam mesin itu sudah pasti banyak komponen yang terlibat, semuanya punya fungsi dan peranan masing-masing. Kegunaan sebuah alat atau komponen adalah ketika dia berada di tempat yang tepat. Begitulah juga kita manusia ini. Masa kecil, sekolah, pengalaman menjadi dewasa, bahkan jodoh kita pada akhirnya membentuk sebuah kesatuan karakter kepribadian sebagaimana kita sekarang ini. Karakter kepribadian ini menentukan sejauh mana kita bisa meraih impian kita.

kontemplasi ... jalan untuk temukan diri

Di dorong seperti apapun, saya tidak bisa menjadi tokoh politik karena sejak kecil tidak pernah bersentuhan dengan dunia itu. Di beri peluang seperti apapun, sahabat saya yang dibesarkan dalam keluarga berada tidak akan mampu menjadi militer karena memang dunia kemiliteran identik dengan kerja keras fisik. Masa lalu kita membentuk kita secara tipikal. Bukan hanya pendidikan dan pengalaman, pasangan hidup (istri atau suami) juga berperan penting dalam pengembangan karakter – sebab memang kepribadian terus berubah sekalipun semakin lambat.

Berubahnya kepribadian ini sebenarnya pertanda baik, karena memberikan harapan untuk “pulang” bagi mereka yang sudah terlanjur menyia-nyiakan kehidupannya. Bukankah sering kita melihat orang yang bertobat bahkan menjadi penggiat agama yang handal?

Kembali pada timbangan sukses dan ancaman,. dengan demikian semakin lentur timbangan pengukur sukses kian lunak pula ancaman yang disodorkan kehidupan ini. Mungkin masalahnya bukan seperti apa orang yang sukses itu, tetapi bagaimana orang bisa merasakan sukses dalam hidupnya. Merasa sukses ini juga subjektif, tetapi bisa terlihat dan terasa dari reaksi orang di sekitar kita. Kesyukuran mereka pada diri kita pertanda adanya sebuah prestasi yang kita raih.

Bila orang telah memahami keterbatasannya, tahu benar seberapa jauh ia bisa melangkah, yang selanjutnya patut dipikirkan adalah cara memberinya makna. Hidup kita yang hanya satu ini akan berlalu begitu saja – dengan atau tanpa diberi makna. Persis seperti air sungai yang mengalir – dimanfaatkan atau tidak. Orang yang memberinya makna, menjadikan air sungai menjadi pembangkit listrik kecil yang cukup menghidupi desa. Kita yang memberikkan makna bagi kehidupan, mungkin akan terkejut melihat kemanfaatannya bagi orang lain.

Pada akhirnya, pepatah yang menyebutkan gajah mati meninggalkan gading sementara manusia mati meninggalkan nama, bersumber dari makna yang kita buat dalam kehidupan. Gus Dur disanjung dan dihormati bahkan setelah tiada, tentulah dari cara beliau memberikan makna pada kehidupan ini. Besarnya makna inilah yang akan menentukan kita menjadi orang yang terlupakan, menjadi pahlawan bagi keluarga, pahlawan bagi lingkungan kita, atau pahlawan bagi masyarakat luas. Semuanya kembali pada Anda. It’s really your call!

Seeing is (not always) Believing

Posted in Kontemplasi, Sharing with tags on February 13, 2010 by hzulkarnain

Herdian Zulkarnain

Konon di negeri Tiongkok kuno, seorang tabib genius memiliki 3 orang anak yang dididiknya sebagai tabib sejak kecil. Dalam perkembangannya ketiga anak tersebut ternyata memiliki bakat yang berlainan, sekalipun mereka tetap mewarisi kemampuan pengobatan sang ayah. Setelah dewasa, ketiganya berpisah dan tinggal di desa dan wilayah yang berlainan.

Anak yang sulung memiliki bakat yang luar biasa dalam mengenali tanda datangnya penyakit. Ia bisa melihat partikel-partikel jahat yang beterbangan sebagai tanda datangnya suatu wabah penyakit. Karena ia tidak ingin ada orang yang jatuh sakit, ia menciptakan berbagai alat dan cara untuk menangkap partikel jahat tersebut sebelum sampai ke desa tempat tinggalnya. Hanya istri dan anaknya yang tahu bagaimana bakat itu telah menyelamatkan warga desa dari berbagai wabah yang akan datang, berulang kali. Tabib itu tinggal dengan damai di sana dengan kondisi seperti kebanyakan petani miskin.

Anak kedua bisa mengenali pertanda wabah dari berbagai sumber penyakit, misalnya sumber air atau air sungai yang mulai mengandung wabah,  kandang hewan yang mengandung wabah, gundukan sampah, sisa panen yang gagal dan ditumpuk begitu saja hingga menjadi makanan tikus, dan sebagainya. Ia berhasil menggerakkan warga desa untuk membersihkan lingkungan hidup, sehingga tidak banyak lagi orang sakit di sana. Tabib itu tinggal di tengah desa sebagai warga terhormat dan disegani.

Anak ketiga tidak mempunyai bakat seperti kakak-kakaknya, sekalipun mengerti semua ilmu pengobatan sebagaimana kedua kakaknya. Ia membuka praktik pengobatan, dan karena kemanjuran obatnya, ia dikenal luas hingga ke kota raja. Sang raja tertarik, dan ia meminta sang tabib menjadi tabib istana. Sekarang, sang tabib hidup mewah di istana raja sebagai tabib kerajaan .

Pepatah Barat mengatakan: don’t judge a book by its cover … karena memang sampul yang keren menunjukkan bukunya bermutu, atau sebaliknya buku bermutu belum tentu sampulnya bagus. Tapi anehnya, kita selalu terjebak dalam penilaian berdasarkan kemasan. Mugkin ini sudah jadi sabda alam … sunatullah, bahwa manusia senang menilai apapun dari penampilan luarnya.

Oleh karena itu, tidak berlebihan bila ada pepatah lain yang mengatakan: makanlah menurut kehendak hatimu, tetapi berpakaianlah sesuai kehendak orang lain. Kalau suka kupang lontong, rujak cingur, sate bekicot, rujak soto … dan segala macam makanan yang tidak secara universal disukai, silakan dimakan karena itu hak asasi kok. Tapi, jangan coba makan pakai tangan tanpa sendok garpu di jamuan resmi bergaya fine dining. Kalau tidak mau dianggap aneh, jangan makan steak pakai sendok garpu. Jangan datang ke kondangan pake celana pendek, t-shirt, dan sepatu kets … dan banyak jangan-jangan lainnya.

Kemasan adalah nilai jual, sehingga dalam dunia marketing pengemasan dan pelabelan adalah hal penting. Barang yang sama bila dikemas dengan cara yang berbeda, akan punya nilai jual yang berbeda. Petis udang biasa, yang dikemas dalam wadah plastik kedap sehingga awet, dan dipajang di jaringan swalayan, harganya bisa beberapa kali lipat barang yang sama di pasar tradisional. Emas kuning lantakan, harganya pasti. Emas yang sama, bila sudah diubah menjadi perhiasan akan berharga jauh lebih tinggi … karena ada biaya perajin kemasan. Semakin rumit motifnya, semakin mahal pula harganya. Akan tetapi, bila benda tersebut dijual ke toko emas, baliknya ke emas dasar (ongkos kerja tidak dihitung). Jadi, emas tetaplah emas dan loyang tetaplah loyang – bagaimanapun aksesorisnya.

Munculnya sekolah kepribadian juga untuk kepentingan labeling dan bungkus seperti ini. sekolah ini tidak mengubah seorang apatis menjadi pesimis, seorang psikopat menjadi ulama, bukan itu semua. Mungkin yang lebih tepat adalah kursus memakai topeng agar bisa bergaul dan berkomunikasi dengan masyaralat kelas atas. Cara berpakaian untuk menghadiri acara resmi, cara makan gala dinner, cara bicara atau presentasi di depan publik, dsb. Ini semakin menunjukkan bahwa manusia lebih suka memandang sampul daripada isi.

Dalam masyarakat, ada dua kelompok manusia yang berlawanan dalam membicarakan penampilan eksternal (maksudnya etika dalam berpakaian).

Kelompok pertama tentunya adalah mereka yang memang harus berada di ruang publik dan di depan publik, sehingga harus terus menerus memelihara sikap dan etika perilaku. Inilah kaum selebritis dan tokoh masyarakat yang perlu dikenal tidak hanya baik di dalam tetapi juga keren di luar. Kalaupun dalamnya kurang baik, akan sedikit termaafkan dengan penampilan yang keren tadi. Bung Karno, Presiden SBY, sebagian aktor, penyanyi, pejabat negara, dan sebagian pengusaha adalah contohnya.

Gus Dur yang tampil nyantai...

Kelompok lain adalah yang sedemikian yakinnya dengan diri mereka sendiri, sehingga hampir tidak pernah memperdulikan penampilan luar mereka. Anehnya, publik seolah memaafkan mereka, karena memang potensi diri merekalah yang dilihat. Almarhum Gus Dur, Bob Sadino, Dahlan Iskan, Arswendo, adalah sedikit dari contoh individu seperti ini. Bahkan kesederhanaan penampilan mereka menginspirasi sementara orang untuk tidak menggantungkan diri pada aksesoris luar – kalau memang ingin dikenal dan dikenang sebagai “seseorang”.

Orang tidak berusaha tampil mewah mungkin adalah orang yang tidak membutuhkannya, atau memang tidak punya … (entah tidak punya sesuatu yang dibanggakan, atau tidak punya kemewahan). Orang hebat adalah yang tidak membutuhkan bungkus mewah, sekalipun dia bisa membelinya. Sayangnya, bagi masyarakat umumnya hal itu dianggap keanehan. Kita hidup dalam populasi yang masih memegang tata krama yang kental, kepantasan diukur dari pakaian, dan norma sosial yang berpatokan di luar diri kita.

Orang Jawa bilang, ajining diri dumunung ing lathi, ajining raga dumunung ing busana. Nilai kehormatan kita adalah apa yang kita ucapkan, dan penghormatan orang pada kita terletak pada busana (pakaian) kita.

Jadi, memang kita tidak bisa memilih … pepatah untuk tidak menilai buku dari sampulnya tetap menjadi masalah besar, sebab setiap penerbit selalu mencoba memberi sampul terbaiknya. Kita jadi sulit menilai orang apa adanya, karena orang terbiasa mengemas dirinya dengan balutan pakaian yang menyamarkan jati dirinya.

Kembali pada kisah 3 bersaudara di atas, apakah ada yang rugi dan untung? Kalau dipandang secara materi, mungkin ya. Tapi untuk kepuasan hakiki, tidak ada istilah rugi dan untung. Si sulung yang membuat desanya damai tanpa penyakit, mungkin puas dengan kesederhanaan hidupnya. Begitu pula yang kedua. Yang bungsu, mungkin paling sibuk tapi paling kaya harta. Mungkin dia juga bahagia dengan kesibukannya (dan hartanya).

Masalah selalu timbul bila kebahagiaan itu lantas diukur dari parameter orang lain, misalnya soal banyaknya harta atau popularitas. Padahal, ukuran S,M,L,XL tidak selalu universal. Kemarin saya beli baju XL tidak cukup, ternyata hari ini menemukan ukuran L yang gede sekali. Amerika selalu mencoba mendiktekan demokrasi ke berbagai negara lain di dunia (lepas dari siap atau tidaknya negara itu). Akibatnya, negara yang menelan demokrasi kepagian berakhir dengan rentetan kerusuhan yang mengatas namakan demokasi.

Mungkin saatnya kita kembali pada diri sendiri, dan mengukur kebahagiaan dan kesuksesan dari kacamata kita sendiri. Biarlah kaca mata orang lain melihat kita dengan rasa kasihan, padahal kita sudah bahagia dengan hidup kita. Biarlah orang lain begitu tinggi menilai kita (tak perlu jumawa), tanpa tahu bagaimana kita mencapai dan mempertahankan posisi yang membuat kita bahagia itu.