“The judge must be crazy,” ungkap seorang expat yang saya kenal, sambil memasukkan lembaran uang ke kotak “Coin for Prita”. Sebagai orang yang cukup lama tinggal di Indonesia, dan mengikuti hot news belakangan ini, penilaiannya tidak ngawur… karena kita pun juga berpikir demikian. Apalagi koran asing sudah memuat profil ibu muda ini.
Tanggal 14 Desember 2009 merupakan hari penutupan pengumpulan koin keprihatinan untuk Prita Mulyasari, yang didenda 204 juta oleh Pengadilan Tinggi Banten. Gelombang suara dan derma keprihatian membanjir dari segenap penjuru Jakarta hingga ke berbagai daerah di Indonesia. Semuanya prihatin dan merasa sepenanggungan karena Prita yang orang biasa, bekerja biasa, dan punya keluarga biasa, terasa seperti saudara kita yang orang biasa. Tidak mengherankan bila puluhan bahkan ratusan kilogram mengalir deras ke kantor panitia penggalangan “Coin for Prita”.
Ketika diwawancara oleh wartawan The New York Times, Prita mengatakan:”People always lose to the powerful in this country. I’m a mother, a regular person like everybody else, so a lot of people indentified with me and felt sympathy” (Orang selalu kalah dengan pihak yang kuat di negara ini. Saya adalah seorang Ibu, orang biasa seperti orang lain, jadi banyak orang yang merasa sama dengan saya dan bersimpati). Tidak tanggung-tanggung, Prita Mulyasari menjadi The Saturday Profile tanggal 5 Desember 2009 di harian bergengsi asal negeri Obama ini, dengan tajuk: Trapped Inside a Broken Judicial System After Hitting Send (Terjebak di Dalam Sistem Hukum yang Rusak setelah Menekan “Send”)
NewYork Times menceritakan dengan singkat asal-usul kasus Prita hingga ia harus dimasukkan tahanan dan menghadapi tuntutan 6 tahun penjara. Seperti kita pahami bersama, Prita menceritakan dan mengeluhkan pelayanan di rumah sakit tempatnya di rawat, serta menyebutkan nama dokter yang menanganinya melalui e-mail pada kerabat dan rekan sejawatnya. Entah siapa yang kemudian meneruskannya ke dalam mailing-list (Prita tidak akan mencari tahu, karena mereka yang dikiriminya adalah teman dan kerabat yang disayangi dan menyayanginya), yang jelas akhirnya e-mail tersebut beredar di milis tertentu yang akhirnya sampai di inbox pihak rumah sakit. Tak berapa lama, Prita harus mendekam di tahanan bersama tahanan lain yang didakwa membunuh.
Inilah kasus pertama Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik – yang sampai di meja hijau dan mengancam hukuman maksimal seorang warga negara Indonesia (6 tahun kurungan). Entah bagaimana ceritanya, undang-undang yang awalnya akan dipakai untuk meregulasi penggunaan internet yang kian marak di negara ini menjadi alat hukum untuk memidanakan orang.
NY Times memberi istilah …, yet another ordinary Indonesian caught up in one of the world’s most corrupt legal system. Hati kecil saya – sebenarnya – tidak terima dengan penilaian ini, karena sudah menyangkut nama bangsa … tetapi saya tidak punya alasan untuk kesal pada media asing – karena memang kenyataannya seperti itu. Apalagi sekarang Prita malah menghadapi masalah yang tak kurang besarnya, karena tuntutan perdata sekian ratus juta tersebut.
Di mata NY Times, Prita tidak menikmati ketenaran sebagai icon perlawanan terhadap sistem hukum yang amburadul ini. Sekalipun ia bersedia dipotret untuk satu atau dua keperluan – termasuk pose untuk NY Times – keputusan bebas dari majelis hakim akan membuatnya paling bahagia, sebab ia bisa kembali ke kehidupannya semula yang normal: sebagai Ibu, istri, dan karyawati. Kata Prita:”Saya hanya berharap ini akan selesai pada akhir tahun. Saya merasa tidak nyaman menjadi terkenal. Orang-orang jadi mengenal saya in mall dan pasar, dan saya harus bersikap manis pada mereka sekalipun saya sedang dalam kondisi mood yang tidak baik.”
Prita sendiri sebenarnya sudah pesimis pada sistem hukum kita, kepercayaannya pada hukum sangat menurun. Katanya,” Satu-satunya harapan saya adalah berdoa dan memohon perikemanusiaan majelis hakim.” Kalau kita berada di tempat Prita, mungkin yang akan kita lakukan sama, tidak lagi meminta sistem hukum yang adil tetapi hati nurani dan kemanusiaan sang hakim yang bersuara.
Keprihatinan massa ini telah mencapai pejabat dan orang-orang penting, bahkan DPD (Dewan Pimpinan Daerah) pun menyuarakan boikot pada RS Omni. Ketika kasus ini pertama mencuat, di media massa tersiar kabar bahwa tingkat kunjungan orang ke rumah sakit tersebut menurun drastis. Dengan seruan tersebut, manajemen rumah sakit menjadi berlipat-lipat kecemasannya, sehingga berharap agar rumah sakit tsb tidak diboikot karena sekitar seribuan orang terancam menjadi pengangguran. Dengan mediasi dari pihak Departemen Kesehatan, setelah melalui tahapan yang tidak mudah, pihak rumah sakit bersedia mencabut gugatan perdata dan Prita tidak perlu membayar apapun kepada pihak rumah sakit.
Sejauh ini, pihak Prita masih menanggapi aksi dari pihak rumah sakit dengan dingin, karena sekalipun gugatan perdata dicabut proses pidana masih berjalan. Ada kekhawatiran dari pihak Prita, hasil perdamaian dengan rumah sakit justru akan memberatkannya – sekalipun penasihat hukum rumah sakit serta mediator dari Depkes mencoba meyakinkan bahwa besar kemungkinan hakim akan menilai kasus tersebut secara berbeda setelah ada perdamaian.
Kita semua juga berharap, keadilan akan bicara – kalaupun tidak lewat sistem yang harus diperbaiki, setidaknya lewat nurani sang pengadil. Pihak MA jauh hari sudah mengatakan, tidak ada korelasi antara keprihatinan dan kebenaran. Artinya, MA akan berjalan sesuai dengan kebenaran hukum, tanpa memandang segala macam aksi keprihatinan di luar sana. Dewi pengadil selalu tampil dengan mata tertutup agar tak memihak, membawa neraca agar mampu menimbang secara adil, dan sebilah pedang untuk menjatuhkan hukuman. Pertanyaannya adalah … di mana nurani sebagai manusia akan diletakkan?
Kita semua prihatin, bersedih pada penegakan hukum yang ternyata belum banyak berubah sejak Orde baru. Untunglah kita berada di iklim keterbukaan yang dijamin sepenuhnya oleh negara, sehingga informasi semacam ini benar-benar terbuka serta luas di ketahui massa. Sudah pada tempatnya lah aparat hukum harus mengubah mindset mereka, sudah waktunya mereka bekerja untuk rakyat yang telah membayar pajak untuk gaji mereka.
Saya yakin Indonesia akan maju! Semoga Indonesia diridhoi Allah. Mari kita berubah mulai diri kita sendiri.