Archive for pendidikan nasional

Perubahan dalam Prosesnya

Posted in Kontemplasi, Sharing with tags , , , , , , on May 31, 2011 by hzulkarnain

Catatan akhir Mei 2011: Pendidikan dan Kebangkitan Nasional

40,9 prosen responden merasa puas dengan pemerintahan orde baru di bawah kepemimpinan Presiden Suharto. Demikian ungkap Indobarometer dalam survei mereka yang bertajuk 13 tahun reformasi dan 18 bulan pemerintahan Presiden SBY. Karuan saja hasil ini langsung menuai kontroversi, bahkan lembaga survei ini dituding mengusung kepentingan tertentu.

Survei yang dilakukan sejak akhir April hingga awal Mei tersebut, menurut Muhammad Qadari sang direktur, mencakup 33 propinsi dengan responden sekitar 1200 orang dengan margin of error sebesar kurang lebih 3,0 persen pada tingkat kepercayaan 95 persen. Artinya, Indobarometer menganggap hasil survei ini valid dan reliabel.

Di luar kontroversi yang timbul, dan di luar benar salahnya versi masing-masing penilai, saya pribadi merasa prihatin dengan kelakuan yang pintar-pintar bodoh seperti ini. Pintar karena survei ini pastinya menggunakan ilmu dan teknologi yang mumpuni, dan pintar karena menangkap peluang menjadi sensasi. Bodoh karena survei yang dilakukan tersebut tanpa manfaat yang jelas. Kalau sudah diketahui responden lebih suka pada masa dan pemerintahan rezim Suharto, so what? Tidak mengherankan bila ada yang menduga survei ini mengandung “pesan sponsor” dari pihak-pihak tertentu.

Sedikit lagi mengomentari proses survei tersebut, ada 2 kejanggalan yang menurut saya agak parah. Yang pertama soal keterwakilan. Bila Indonesia punya 200 juta jiwa penduduk, angka 1200 yang dipakai sebagai responden hanyalah 0,000006-nya. Sah saja kalau lembaga survei ini berkilah bahwa, 40 prosen tadi dari responden – bukan penduduk Indonesia. Sebab sudah pasti, angka yang jauh di bawah nilai 1% penduduk Indonesia tadi sudah pasti tidak representatif. Dari sini saja sudah terlihat betapa sia-sia survei ini.

Hal kedua adalah pola penjaringan responden. Kalau yang ditanya adalah orang yang berusia awal dua puluhan (apalagi kurang dari usia itu), bagaimana mereka bisa merasa dengan pasti kondisi jaman orde baru, apalagi membandingkan dengan kondisi orde baru. Sebab, saat orde baru tumbang, responden ini berumur kurang dari sepuluh tahun, bahkan ada yang mungkin baru masuk SD. Apalagi kalau mereka ditanya soal orde lama, sungguh tidak masuk akal – karena mungkin orang tua mereka pun tidak banyak yang menikmati masa-masa itu.

Beberapa tahun silam, ada pendapat yang mengatakan bahwa Indonesia ini sangat beruntung karena memiliki pemimpin yang sesuai dengan jamannya. Saat baru saja merdeka, jaman kisruh, dan rawan terpecah belah, muncul sosok Soekarno yang keras, cerdas, dan nasionalis. Dengan kepiawaiannya berpidato, beliau menyihir penduduk untuk tetap mematuhi pemerintah sekalipun ekonomi Indonesia berada di titik nadir – yang ditandai dengan sanering di awal 60-an akibat inflasi gila-gilaan. Selama berkuasa dua puluh tahunan, Indonesia memiliki beberapa landmark yang kita kenali sampai sekarang – misalnya monumen nasional, masjid Istiqlal, gereja Katedral, dan patung-patung heroik di banyak jalur protokol di Jakarta. Di sisi lain, pembangunan ekonomi seperti tidak tampak. Meskipun bukan seorang militer, namun Bung Karno suka mengenakan jas berdekorasi atribut kemiliteran. .

Di masa orde baru, Pak Harto memilih pendekatan yang berbeda. Karakter pak Harto berseberangan dengan Bung Karno – kecuali kecerdasannya. Pak Harto terkenal dengan tuturnya yang lembut, mendudukkan pembangunan ekonomi di atas prioritas lainnya, dan ada rencana pembangunan lima tahunan sebagai arah pembangunan bangsa. Akibatnya, ekonomi Indonesia menjadi lebih maju. Beliau bukan seorang orator, tetapi pemikir. Beliau seorang militer, namun lebih suka berpakaian sipil dan jauh dari kesan militeristik.

Coba bayangkan bila Indonesia dianugerahi pemimpin yang tidak cocok dengan masanya; Pak Harto hidup di masa Bung Karno yang bergolak, sementara Bung Karno memimpin Indonesia di masa damai.

Tahun 1998 adalah milestone sejarah bangsa ini. Sebuah drama besar terjadi, saat Pak Harto terpaksa mengumumkan pengunduran dirinya sebagai presiden setelah berkuasa sejak 1966. Bila dulu Bung Karno lengser setelah kasus G-30S PKI, yang menelan jiwa jenderal dan perwira angkatan darat, Pak Harto harus lengser setelah kerusuhan sosial dan pergerakan bangsa ini yang meminta reformasi. Dua-duanya turun dari kursi kepresidenan secara tidak wajar, setelah berkuasa lama. Inilah yang kemudian direvisi pasca reformasi – kekuasaan presiden hanya boleh maksimum 2 periode.

Orang sering tidak sabar dengan proses yang berjalan, apalagi bila selama proses tersebut ada hal-hal negatif yang terjadi. Selama 13 tahun pasca reformasi, Indonesia telah menuai setonggak demi setonggak kemajuan; dalam hal demokrasi, transparansi hukum, ekonomi makro, hak asasi manusia, dan sebagainya – namun secara substansial sering dikaburkan oleh pemberitaan tak berimbang media massa. Akan tetapi, ada yang belum banyak bergerak dari urutan Indonesia dalam daftar negara-negara bermasalah di dunia – karena mungkin sudah membudaya: yakni korupsi, kolusi, nepotisme.

Seorang teman berkomentar, bila dulu korupsi sudah bisa diduga orang-orangnya, sekarang ini kondisinya lebih parah: korupsi berjamaah. Kalau dulu korupsi didominasi oleh para birokrat, termasuk kroni penguasa, sekarang ini ditambah lagi dengan para legislator di Senayan. Semakin transparan pemberitaan, kian terang sepak terjang mereka di mata publik. Anehnya, para pelaku ini seperti tidak tersentuh hukum, tetap bisa berpakaian perlente, dan tetap berkuasa.

Dengan memasuki persaingan global, Indonesia harus memperkuat keuangan, salah satunya dengan mengurangi atau menghilangkan subsidi dari beberapa pos, namun hilangnya subsidi bagi perguruan tinggi menjadikan pendidikan di negeri ini sangat mahal. Perguruan tinggi negeri seperti diswasta-kan, dan karena mereka boleh mencari sumber keuangan sendiri, akibatnya uang masuk ke PTN bisa mencapai puluhan bahkan ratusan juta. Sungguh suatu kebijakan yang tidak masuk akal!!! Mungkin, kalau Ki Hajar Dewantara masih ada, beliau akan menangis. Bagaimana tidak? Pendidikan sudah menjadi ajang bisnis, dan bisnis menjadi bagian dari pendidikan. Bila pendidikan sudah sedemikian mahalnya, lantas bakat-bakat muda yang brilian akan dikemanakan?

Apakah arah pendidikan di Indonesia sudah jelas? Itu juga pertanyaan yang harus dijawab. Bagaimana mungkin mau jelas, sementara negara ini tidak punya lagi garus-garis besr haluan negara seperti jaman orde baru … well, untuk yang satu ini kita harus angkat topi pada tatanan pemerintahan saat itu. Dengan tidak adanya haluan negara, pantaslah pendidikan nasional tidak punya cetak biru. Industri nasional tidak punya strategi. Pertanian dan perikanan yang dulu menjadi penopang kesejahteraan sekarang menjadi masalah baru kemiskinan.

Dalam periode 2 kali masa pemerintahan, yang berarti hanya sekitar 10 tahun, rasanya tidak akan banyak presiden yang mampu membuat kebijakan yang langsung bisa mengangkat kesejahteraan rakyat. Seharusnya ini bukan semata-mata tanggung jawab pemerintah, namun juga parlemen, birokrat, dan segenap jajaran pengambil keputusan di pusat dan daerah. Amerika yang bekas anak jajahan bisa maju, dengan sistem demokrasi modern, dengan batasan masa kepredidenan juga, karena bukan hanya pemerintah yang memikirkan nasib rakyat. Justru parlemen lah yang memegang peranan paling penting, karena mereka seharusnya menjadi wakil rakyat, mendengarkan keluhan rakyat, dan bertindak atas nama rakyat.

Beberapa bulan lagi, Indonesia akan berusia 66 tahun … usia yang cukup tua untuk manusia namun cukup muda untuk sebuah bangsa. Kita perlu memegang optimisme itu! Artinya, jalan bangsa ini menuju ke kondisi yang baik masih terbuka, asalkan kita mulai memperbaikinya sekarang. Mulai dari diri sendiri, kita harus mengikis korupsi, kolusi, dan nepotisme yang kita sendiri tidak suka. Jangan nantinya kita yang lantang berteriak anti KKN ternyata justru masuk ke dalamnya, ketika ada kesempatan – dan mungkin itulah yang terjadi di Senayan sekarang. Pembangunan bangsa ini bukan semata tugas pemerintah pusat, tetapi daerah juga memegang kendali karena sudah banyak hal yang otonomi sekarang.

Masa lalu adalah sejarah, dan kita tidak bisa kembali ke sana. Yang ada hanyalah sekarang dan masa depan. Kalau ada keindahan di masa lalu … itu hanyalah fatamorgana! Bila sekarang kita menginjak kerikil tajam, terantuk batu besar, terjerembab dan menderita, itulah realita. Semoga dengan kita tahu ada onak dan duri di jalan, kita menjadi lebih bijak. Semua ini adalah proses menjadi dewasa dan lebih baik – itu saya yakini. Di depan kita … kalau tidak di masa kita mungkin di era anak cucu kita … ada harapan yang tak bertepi. Mungkin tugas kita adalah menanam sebiji buah mangga, agar anak kita yang merasakan ranumnya. Allah Ta’ala yang memegang keputusan, namun kita sebagai mahluk wajib berikhtiar, dan nasib Indonesia ada di tangan kita semua. Bukankah Allah tidak akan mengubah suatu kaum, bila kaum itu sendiri tidak mengubahnya?