Ramadhan Gerbang Syukur

 

mengakhiri hari dengan bersyukur

Tidak terasa Ramadhan bulan penuh hikmah akan berlalu untuk tahun ini, semua kegiatan religius yang sebulan penuh seolah menyesaki sudut-sudut aktivitas harian kita juga (mau tak mau) akan menemukan ujungnya, dan (mau tak mau) kita sebagai manusia akan kembali terjebak dalam rutinitas duniawi hingga setahun kemudian. Mungkin para ustadz dan ulama akan berpesan dengan khidmat agar kita tidak membuang demikian saja semua hal baik yang sudah kita mulai pada Ramadhan tahun ini, mempertahankannya, bahkan kalau bisa meningkatkannya. Kita pun akan mencoba menghayati pesan tersebut, mengangguk-angguk setuju, dan berjanji akan mencoba melaksanakannya.

Apa yang kemudian terjadi? Lebih umum kita menemukan takbir penanda masuknya bulan Syawal menjadi pengakhir kekangan atas segala nikmat dunia. Bila di bulan ramadhan saja masih banyak kaki yang terlihat di balik tabir kedai kaki lima, bagaimana pula meminta mereka melaksanakan puasa sunnah syawal. Kalau selama Ramadhan begitu banyak ajakan, anjuran, dan tuntunan untuk bersedekah yang tidak menggerakkan hati, apalagi di bulan selain bulan suci itu.

Islam memerintahkan penganutnya untuk memperbaiki diri, dan menjadikan kebaikan hari sebagai tonggak kebaikan besok. Sebagaimana tertulis dalam Surat Al-Ashr, kita sebenarnya dalam kondisi yang minus bila statusnya hanya sama dengan diri yang kemarin. Sekecil apapun perubahan itu, seyogyanya kita lebih baik daripada kemarin. Ramadhan yang datang setiap tahun sebenarnya bisa menjadi tonggak besar perubahan diri seseorang yang sadar bahwa masa lalu adalah hal yang terjauh, karena waktu tidak pernah berulang, dan kita ini seperti menyentuh air sebuah sungai yang mengalir. Tidak pernah kita menyentuh air yang sama.

Salah satu langkah terbaik untuk memulai memperbaiki diri adalah dengan cara bersyukur. Bersyukur adalah kewajiban manusia, suka atau tidak, karena sepenggal hidup ini terasa mudah dan nikmat hanya karena kemurahan Allah Ta’ala. Allah menetapkan default yang sedemikian indah atas diri manusia yang baru dilahirkan. Normalnya, manusia lahir dilahirkan dengan “kelengkapan” yang standar: kepala lengkap dengan mata-telinga-mulut-hidung, tubuh, tangan-kaki, organ dalam tubuh, dsb. Sebenarnya, orang tua paham akan nikmat ini, dan mengucapkan pujian serta rasa syukur sesaat setelah mengetahui anaknya lahir selamat dan tanpa cacat. Hanya sayangnya, rasa syukur itu tidak pernah lama, dan tidak pernah menjadi bagian dari pengajaran pada sang anak.

Kebanyakan dari kita tumbuh dan berkembang dengan merasa bahwa kesempurnaan tubuh sebagai suatu standar. Bagaimana mungkin nikmat Allah yang besar ini dianggap sebagai standar? Standar artinya tidak kurang dan tidak lebih. Berapa dari kita yang selalu melihat default ciptaan Allah sebagai kesempurnaan. Mungkin terlintas, namun seberapa dalam. Manusia baru merasakan tingginya nikmat – yang dianggap standar tadi – ketika Allah memberikan cobaan sedikit saja. Sakit gigi, atau kaki yang patah karena kecelakaan. Tiba-tiba orang merindukan masa ketika gigi tidak sakit atau kala bisa berjalan normal tanpa kruk. Apalagi bila Allah mengambilnya untuk selama-selamanya?

Atau sebaliknya, Allah tidak mengurangi tapi menambahi. Mata yang seharusnya dua ditambah satu. Jari yang seharusnya lima di kanan dan lima di kiri ditambahi masing-masing satu. Berapa orang yang mau “kelebihan” dari default ciptaan Allah itu?

Kekayaan yang melimpah juga bukan sesuatu yang bisa diidamkan bila hal itu lantas menjauhkan manusia dari rasa syukur dan ketakwaan. Banyak kasus yang menunjukkan bahwa kelimpahan harta menyebabkan orang menjadi terikat untuk mempertahankannya, bahkan dengan cara yang tidak bisa dibenarkan menurut jalan agama.

Ironisnya, wajah syukur justru lebih mudah tampak pada manusia yang telah kehilangan salah satu atau beberapa nikmat dari Allah. Orang yang terbiasa hidup dengan nikmat yang tidak sebanyak orang normal lainnya. Mereka yang cacat sejak kecil atau sejak lahir, orang yang miskin dan tidak mengeluh, anak-anak yatim yang kehilangan orang tua, dan sebagainya. Hilangnya sebagian dari nikmat telah menyadarkan mereka bahwa masih ada hal yang bisa disyukuri, dan ada kekhawatiran akan hilangnya nikmat yang lain bila mereka tidak mensyukuri apa yang tersisa.

Saya selalu miris ketika melihat orang yang secara dholim merusak keindahan ciptaan Allah dengan tattoo atau tindik yang berlebihan, hanya karena tidak indah di mata manusia. Atau menggunakan narkoba yang sadar atau tidak sadar merusak ciptaan Allah dari dalam. Ada lagi yang merasa perlu merombak susunan yang sudah bagus ini agar tampak lebih elok dengan cara operasi plastik. Kalau bagi kebanyakan orang tubuh kita yang sempurna ini dianggap standar, ternyata masih ada yang menganggapnya sub-standar. Di tempat lain, betapa banyak orang dengan kelebihan harta dan jabatan justru terperangkap dalam upaya memperkaya diri sendiri melalui korupsi. Sebagian lain didapati mati di kamar seorang perempuan pekerja seks. Naudzubillahi mindzalik!

Dengan sadar bahwa Allah telah merahmati kebanyakan dari kita nikmat yang sedemikian tinggi, sudah sepantasnya sebagai insan biasa kita senantiasa meningkatkan rasa syukur. Ada beberapa nasihat untuk meningkatkan rasa syukur tersebut, antara lain dengan cara:

1. Menuliskan semua kenikmatan yang diberikan oleh Allah. Segala hal yang kita ingat sebagai nikmat, tuliskan saja, sekecil apapun. Selain itu, tambahkan catatan itu dengan semua kemujuran dan keberuntungan yang terjadi sepanjang hari. Surat Lukman 27 menegaskan bahwa … seandainya pohon-pohon di bumi menjadi pena dan laut (menjadi tinta), ditambahkan kepadanya tujuh laut (lagi) sesudah (kering)nya, niscaya tidak akan habis-habisnya (dituliskan) kalimat Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.

2. Menimbang nikmat yang kita dapatkan dengan mereka yang tidak seberuntung kita. Harta yang dititipkan Allah kepada kita sesungguhnya semata-mata agar kita mampu meningkatkan takwa dengan menjadi jalan rizki bagi orang lain. Surat Al An’aam 53 menyebutkan: Dan Demikianlah Telah kami uji sebahagian mereka (orang-orang kaya) dengan sebahagian mereka (orang-orang miskin), supaya (orang-orang yang Kaya itu) berkata: “Orang-orang semacam inikah di antara kita yang diberi anugerah Allah kepada mereka?” (Allah berfirman): “Tidakkah Allah lebih mengetahui tentang orang-orang yang bersyukur (kepadaNya)?”

3. Mewujudkan rasa syukur dengan berbagi. Zakat adalah jalan yang ditentukan oleh Allah kepada setiap muslim dan mukmin unuk meningkatkan takwa. Begitu banyak ayat di dalam Al-Qur’an yang menggandengkan frase menegakkan sholat dan membayarkan zakat. Bila ada kata menegakkan sholat, di belakangnya ada lanjutan membayarkan zakat. Zakat dan sedekah tidak menjadikan manusia miskin, karena Allah sendiri yang memerintahkannya agar menjadi jalan taubat bagi mereka yang berpunya. QS Al-Mujadillah 13 menggaris bawahi: Apakah kamu takut akan (menjadi miskin) Karena kamu memberikan sedekah sebelum mengadakan pembicaraan dengan Rasul? Maka jika kamu tiada memperbuatnya dan Allah Telah memberi Taubat kepadamu Maka Dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya; dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.

4. Berdoa dan mengucapkan syukur alhamdulillah sebagai penutup hari seraya mengingat terus bunti QS Ibrahim 7: Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), Maka Sesungguhnya azab-Ku sangat pedih”.

Ramadhan segera berlalu, sebagai bagian dari perjalanan waktu dan hidup manusia. Terserah pada kita, apakah menjadikan bulan suci ini hanya satu dari 11 bulan yang lain, dengan keyakinan akan datang lagi tahun depan (dan umur kita sampai), atau menjadikannya gerbang untuk terus meningkatkan diri menjadi insan yang bertakwa. Semoga Allah senantiasa memberikan panduan kepada kita agar kita selalu memperoleh ridha-Nya. Amin.

 

 

MINAL ‘AIDIN WAL FA’IDZIN 1429 H.

Mohon Maaf Lahir dan Batin

 

Leave a comment