Imlek dan Ironi Kaum Muslim

 

 

chinese-new-yearEuforia Imlek masih terasa hari ini, bahkan mungkin sampai akhir minggu ini. Beberapa televisi swasta sudah membuat tayangan khusus yang beraroma kaum Cina hingga seminggu. Sepanjang hari Minggu dan Senin, bila tidak ada acara kemanapun dan lebih sering menghabiskan waktu di depan televisi, nuansa itu terasa. Kalau berjalan-jalan di mall, apalagi yang pengunjungnya mayoritas etnis Tionghoa, hiasan lampion merah, pernak-pernik merah menyala, hingga tulisan “gong xi fa choi’ bertebaran di mana-mana. Belum lagi retail-retail yang membagikan angpao dalam amplop merah (biasanya berisi kupon hadiah langsung atau voucher belanja). Pendek kata, meriah.

Bila lebih dalam menilik isi acara televisi, introduksi budaya Tiongkok dan kaum Tionghoa lebih kental lagi. Mulai selebriti yang kebetulan beretnis Tionghoa berjalan-jalan, Bondan Winarno yang makan sutra dalam rangka Imlek, barongsai dari berbagai kota, hingga berita tentang kaum miskin yang meminta-minta di vihara-vihara (karena di sana biasanya dilakukan sedekahan kepada kaum papa). Yang lebih seru adalah munculnya para suhu peramal, ahli feng-shui, hingga Mama Lauren yang mencoba meramalkan tahun ini, yang menurut kalender Cina ber-shio Kerbau Api. Pokoknya, sarat pesan dan makna.

Apakah hanya kaum Tionghoa yang meramaikan? Tentu tidak. Sekalipun sebenarnya Imlek – yang tahun ini berangka 2560 – berakar dari budaya tradisional Tiongkok kuno yang kemudian berurat pada ajaran Kong Hu Cu dan Buddhisme, selanjutnya lebih dikenal secara budaya sebagai tahun baru Cina. Artinya, apapun agamanya, kalau orang itu merasa beretnis Tionghoa dia boleh meayakannya. Oleh karena itu, tidak jarang ditemui keluarga etnis tersebut makan bersama dalam keluarga besar, sekalipun mungkin di dalamnya bercampur anggota keluarga dengan 3 atau 4 agama berbeda.

Imlek sebagai sebuah festival, perayaan besar dan meriah, muncul lagi sejak tahun 2001 atau 2002, di jaman pemerintahan Gus Dur yang dilanjutkan oleh Megawati. Festival yang diberangus semasa orde baru ini menjadi euforia baru bagi kaum Tionghoa, karena mereka seperti diberikan kebebasan untuk mengekspresikan jati dirinya yang telah terborgol selama tiga dasa warsa lebih. Bahkan mendadak lebih banyak orang Tionghoa yang berani menampilkan nama marganya. Bila dulu mungkin orang hanya mengenal Kwik Kian Gie, Ong Hok Ham, Karim Oey, dan segelintir orang lain saja yang berani mengaku orang Cina, sekarang keraguan itu lebih cair. Intinya, Imlek bukan sekedar euforia tetapi jati diri.

Hampir sebulan yang lalu, tiap orang di dunia pasti merasakan euforia yang hampir sama saat merayakan tahun baru masehi. Meriah, bahkan hingga menyusup ke pelosok-pelosok negeri. Pergantian tahun selalu dianggap sebagai a new dawn – fajar baru yang merekah dengan segudang harapan. Orang-orang membuat resolusi tahun baru, dengan impian yang tinggi, entah benar-benar mereka rencanakan atau sekedar ikut trend. Di wilayah-wilayah yang berpenghuni mayoritas Nasrani, malam tahun baru biasanya disertai dengan berkontemplasi bersama, dengan hanya diterangi lilin, mengingat apa yang telah dilakukan selama setahun terakhir – bahkan tak jarang hingga menangis terguguk-guguk. Semua yang buruk akan dibuang, dan resolusi tahun baru dibuat untuk esok yang lebih cerah. Di jalanan, kendaraan menghabiskan bensin kesana-kemari, meniup terompet tanda suka cita, laki-laki – perempuan berbaur menyambut moment setahun sekali itu.

Apakah yang merayakan tahun baru hanya kaum Nasrani? Tentu tidak. Sebenarnya, tidak banyak yang tahu bahwa tahun baru adalah hari besar keagamaan kaum Nasrani, sehingga kemeriahan itu ditopang oleh orang dari agama apapun. Perayaan tahun baru adalah kelanjutan perayaan Natal. Oleh karena itulah, pada malam tahun baru, kaum Nasrani sebenarnya harus melakukan ibadah di gereja-gereja daripada sekedar berkeliaran di jalanan. Orang Nasrani, yang punya hari besar tersebut, belum tentu paham dengan hakikat tahun baru. Mereka hanya melihat Natal saja.

Bulan Maret, orang Hindu akan menyambut tahun baru Saka mereka dalam upacara yang memang tidak boleh meriah – bernama Nyepi. Begitu takzim orang Hindu menghormati kultur perayaan tahun barunya, dan sarat dengan makna, agar mereka memiliki kendali atas keduniawian mereka. Nyepi adalah identitas bagi kaum Hindu.

Apa yang bisa dikatakan kaum Muslim terhadap tahun baru Hijriyah? Bahkan kalau tidak diliburkan oleh pemerintah, sayapun mungkin lupa bahwa hari tersebut adalah pergantian tahun kaum Islam. Televisi yang menyiarkan acara menyambut 1 Muharram seperti kehabisan ide, tidak kreatif, dan jauh dari inspirasi. Alih-alih mencari model acara yang menarik, acara di Istiqlal yang dihadiri oleh Presiden dijadikan puncak fokus perhatian. Sehingga, 1 Muharram berlalu begitu saja, tanpa kontemplasi dan resolusi yang seru.

Apakah acara menyambut tahun baru Hijriyah tidak meriah? Di sebagian besar wilayah Indonesia memang ya. Tidak meriah.

Kemeriahan justru bisa dijumpai di Solo dan Yogya. Jangan harap bisa mudah menemukan hotel atau penginapan di kedua kota tersebut di saat pergantian tahun Hijriyah. Yang unik, acara ini dihadiri oleh bukan hanya orang Islam, bahkan yang lebih getol adalah para penganut kepercayaan (Kejawen). Ya, orang Jawa menyebut Muharram dengan nama Sura (mungkin dari kata Asyura), dikenal bukan sebagai bulan yang dirahmati oleh Allah, melainkan sebuah bulan “baik” untuk mencuci semua pusaka, namun “sangar” untuk aktivitas pernikahan.

Sebagian orang Islam yang terimbas kejawen, penganut kejawen, dan mungkin kaum Hindu dan Buddha yang berada di kedua wilayah tersebut melakukan beberapa ritual tertentu yang diyakini akan menolak bala dan mendatangkan berkah dari …. Tidak jelas dari mana. Yang bisa mendapatkan air cucian pusaka keraton (dibawa pulang) merasa memperoleh berkah. Di Solo, orang yang memperoleh tahi kerbau Kiai Slamet yakin akan sukses di tahun mendatang karena berkah Kiai Slamet. Animisme dan kekafiran demikian sarat dalam upacara “Grebeg Suro” semacam itu. Kekuatan Allah seperti layak diimbangi oleh berbagai takhayul yang tidak berdasar.

Saya hanya berpikir dan mengharap, kapan orang Islam bisa takzim menyambut tahun baru Hijriyah – seperti orang Hindu pada pergantian tahun Saka? Meriah dan insipiratif seperti orang Cina menyambut Imlek? Dan menjadikan Muharram sebagai jati diri orang Islam, bukan sebagaimana orang Jawa dengan Suro-nya.

Seharusnya kita bisa. Bisa menjadikan Muharram sebagai jati diri. Bisa memberikan makna yang sarat dalam bulan Muharram, bukan sekedar sebagai doktrin tapi juga inspirasi yang membumi. Peringatan Muharram bukan lagi sekedar dzikir di masjid-masjid, tetapi juga kegiatan sosial di tengah-tengah masyarakat. Semoga. 

2 Responses to “Imlek dan Ironi Kaum Muslim”

  1. Saya penganut agama Kristen, ini artikel bagus. Tapi ada yang kurang tepat di salah satu paragraf. Tahun baru bukan hari besar keagamaan, walau bener ada ibadah gereja di masa itu. Kebaktian (31 Des. – tutup tahun dan 1 Jan – awal tahun) hanya kebijakan gereja/umat dalam menyikapi perjalanan waktu. Mungkin filosofinya mirip seperti doa saat ulang tahun, mau makan, atau mau tidur dan sebagainya.

    CMIIW 😀

  2. good blog..saya dapat tambahan wawasan disini.boleh tahu your profile and your email?

Leave a comment